ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Wednesday 22 December 2010

Konserto Persinggahan I-II

(tentang peron kecil sebuah stasiun kecil-versi satu)

sinyal-sinyal telah diaktifkan
kereta itu datang
terlambat seperti sediakala

peron kecil sebuah stasiun kecil
gerimis desember seperti tahun lalu
malam lengang terasa ada yang dimabukkan

persinggahan kecil di sebuah stasiun kecil
seorang perempuan muda,
dalam-dalam terakhir menghisap sigaret putihnya
diam-diam lalu menginjaknya

tak ada sapa kepada siapa
di pintu gerbong, begitu saja ia hilang terkatup
selamat jalan!

ruang-ruang kembali kosong di seberang jauh
malam mengeras
kesunyian menyelidik
di peron kecil sebuah stasiun kecil
sebuah buku gibran tergolek di bangku panjang

angin mengencang
bola lampu 18 watt meremang dikerubut laron-laron
sayap-sayap yang bergeletakan di lantai granit kusam
adalah kurung buka bagi keasingan sebuah sajak
seorang tua penjaga malam stasiun kecil
terkantuk-kantuk dengan peluit di bibirnya
ia tak berharap kereta itu datang kembali
buku ‘cinta yang agung’ gibran,
erat terdekap

















(tentang peron kecil sebuah stasiun kecil-versi dua)

tenang-tenang,
aku akan naik kembali
begitu peluit sang penjaga stasiun kecil dilengkingkan
ruang tunggu peron kecil sebuah stasiun kecil
kuharap tak ada yang tertinggal di sini
selain jejak, yang di kemudian hari juga pasti disapu kembali
atau tertutup debu-debu setelahnya

baik-baik,
aku akan kembali duduk di bangku penumpang
di gerbong tua karatan, berbercak-bercak sisa muntahan
tak juga akan kutoleh peron kecil itu sekali lagi
dari jendela kaca pecah seribu bekas lemparan batu gelandangan
sekalipun sunyinya utuh bisu menyeringai

baik-baik,
aku akan pergi dari sini
kutitip buku gibran dengan sampul terkoyak
boleh saja teronggok bisu di bangku itu untuk selamanya
tak perlu ada yang merasa memilikinya
siapa saja boleh baca
menyibak satu-dua, lalu tinggalkan sekenanya

keabadian yang kujelang
adalah kematian penutup perjalanan



http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 18 December 2010

Anakku Mencatut Profilku!

Mendengar kakaknya yang bersekolah di luar daerah melapor ingin mengikuti les gitar klasik, adiknya (perempuan) pun ikut ribut ingin dibelikan gitar. Kami minta waktu satu bulan untuk mengabulkan permintaannya. Kas keluarga sedang kosong. Tapi dia tetap berkeras ingin dibelikan secepatnya.


Di siang, hari kedua setelah ribut, ketika ibunya masih di kota untuk belanja kebutuhan kios ATK-nya, kepadaku, anak perempuanku meminjam HP yang tergeletak di meja komputer dan membawanya pergi. Aku melanjutkan mengetik. Kami hanya punya dua HP murahan. Satu dibawa istri, dan satunya untuk di rumah. Anakku memang tidak kami beri dengan alasan sekuriti.


Sore, saat ibunya tiba di rumah dan barang belum diturunkan dari mobil, anakku sudah ‘sumringah’ menyambut kedatangannya. Sambil masuk rumah, istriku nerocos kepadaku, “Uang ludes…des untuk belanja barang, gitar pesananmu belum aku belikan!”
“Siapa yang pesan gitar? Aku nggak pesan kok!”Jawabku bingung.
“Tadi siapa yang SMS?” Istriku melanjutkan.
Aku menoleh kepada anak perempuanku. Ia merengut.
“Apa bunyi pesan SMS itu?” Tanyaku penasaran.
Ujar istriku kemudian, “Beli gitar, Luh!”


Aku tertawa. Anak perempuanku menangis. Dialah yang mengirim SMS itu dan langsung menghapusnya. Ia telah menyebut ibunya dengan kata ‘Luh’, nama kecil biasa aku memanggil istriku. Ia telah mencatut profilku!
http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 15 December 2010

Saklar Dinding

http://sastrombudeg.blogspot.com

hanya bisa bangga sebagai pemakai, klak-klik...! mbenerinya nggak tahu, apalagi membuatnya. semoga ini hanya saya, bukan orang selain saya....

Monday 13 December 2010

Ufuk Barat Rembang Petang di Peninjauan

http://sastrombudeg.blogspot.com
















hasil 'klik' annisa gustiasti arumsadu (13 desember 2010) diedit seperlunya

Inspirasi dari Batang Kelapa untuk Indonesia

http://sastrombudeg.blogspot.com

kita hanya terbiasa melihat, mengagumi, dan menghargai sesuatu hanya karena kebesarannya, karena ketinggiannya, karena keindahannya, dan karena kegagahannya.

kita sering lupa menengok ke bawah, ke belakang, dan apa yang tersembunyi di balik itu semua ....

tak terlihat dan tak terasakah bahwa ada jutaan bahkan miliaran akar-akar halus yang dengan tulus memberikan pengorbanan, bahu-membahu menyuplai nutrisi untuk menyangga kegagahan itu.

pun ketika si gagah itu tumbang, para akar turut tercerabut dan mati, setia untuk si gagah yang tak gagah lagi itu. yang tertinggal di dalam tanah demikian pula adanya. layu dan kering, busuk menjadi tanah kembali.
tidakkah anda menangis ketika menyadarinya?

mungkin karena negeri ini bernama indonesia ....


Aubade Bunga Gugur

http://sastrombudeg.blogspot.com

Terseru Janji

http://sastrombudeg.blogspot.com

Perjamuan Kelam

http://sastrombudeg.blogspot.com

Diam Seorang Penyair

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 8 December 2010

Mengapa Pentas Wayang lalu Menjadi Sarkas?

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wayang sebagai bagian seni pentas, baik itu wayang orang, kulit, ataupun golek, yang dalam perkisahannya identik dengan fragmen-fragmen Ramayana dan Mahabarata, dari waktu ke waktu berada dalam rel dinamika penyikapan terhadap lingkungan dan budaya yang men’zamani’nya.

Kiranya salah besar apabila kemudian terjadi polemik tentang pergeseran nilai-nilai kewayangan, sebagaimana pernah terjadi pada dekade delapan puluhan sampai sembilan puluhan. Para budayawan Jawa (dari berbagai kalangan) gagal mencapai kesimpulan dan membuat formula bagaimana cara ‘mengunci’ wayang di dalam satu kotak pandora bernama “pakem’. Bagaimana seni pewayangan menjadi benda pusaka suci yang tidak boleh disentuh oleh peradaban selanjutnya. Wayang harus ‘seolah-olah’ menjadi saksi bisu suatu ‘kemandegan’ proses berbudaya suatu bangsa.

Saat itulah, dalang-dalang, para sinden, dan niyaga dituntut berperan sebagai mayat-mayat yang bangkit dari kubur: anyir, kaku, bisu, dan pucat. Dan penontonnya pun dapat dipastikan hanyalah orang-orang yang bernyali untuk duduk bersila di atas tikar penonton di balik 'geber' (layar) sampai kokok ayam jantan di subuh buta menyadarkannya.

Untung, masyarakat pecinta dan pelaku dalam pentas-pentas wayang jalan terus dan tidak perduli dengan kertas kerja-kertas kerja mereka. Masyarakat yang terintegrasi dalam kehidupan dan penghidupan di dalam pentas-pentas wayang tidak 'mood' dengan idiom-idiom pewayangan hasil rekayasa para pengamat atau budayawan.

Salah satu pemicu ‘kegelisahan’ para budayawan saat itu adalah Ki Nartosabdo. Dalang yang besar di Semarang itu pada tahun tujuh puluh-delapan puluhan mengemas wayang menjadi ‘pakeliran padhet’. Pementasannya tak lebih dari lima-enam jam, beda dengan wayang sebelumnya yang bisa mencapai dua belas jam! Lebih ekstrim lagi, bekas muridnya, Ki Manteb Soedarsono, yang bahkan bisa (baca: berani) melakukan pentas hanya untuk waktu tayang dalam hitungan di bawah satu jam saja!

Sesungguhnya, yang terjadi kala itu hanyalah ekspresi rasa kekhawatiran terhadap pergeseran nilai-nilai orisinalitas wayang. Ada yang ‘dipaksakan’ untuk dilupakan bahwa wayang mempunyai sejarah kreatif dan berasal dari suatu proses yang membutuhkan kurun waktu hingga terbentuk menjadi seperti sekarang ini.

Ada kehendak sebagian budayawan untuk membakukan (mem’pakem’kan) wayang. Mereka lupa bahwa kondisi kita saat ini seringkali tidak pas untuk menjadi penonton wayang model baku dan ‘orisinal’ seperti yang mereka inginkan. Mereka sengaja mencoba dan berusaha memuntir fakta sejarah bahwa awal sebuah wayang adalah juga bukan bersumber pada sebuah orisinalitas. Karena sebagian komponen di dalamnya terdapat barang impor dari India (kisah Ramayana dan Mahabarata), yang bahkan juga tidak pernah dipersoalkan oleh masyarakat Hindu India sebagai sebuah ‘pembajakan’.

Dari situ, maka sebagai langkah ‘damai’ antara pihak yang propakem (idealis) dan pihak pelaku seni pewayangan propasar (realistis), dibuatlah bermacam-macam karakter pementasan wayang; wayang klasik, wayang pop, wayang popndut, dan sebagainya. Semua tinggal mana selera kita.

Kritik Sosial pada Pementasan Wayang

Seperti halnya pada seni sastra, seni rupa, seni musik, dan seni pertunjukan lainnya, wayang secara terus-menerus juga melahirkan kreativitas baru dan dinamis sebagai bentuk penyikapan terhadap laju peradaban manusia. Seni tidak bisa lepas dari peradaban manusia. Peradaban manusia tidak bisa lepas dari seni.

Kritik-kritik sosial dan ‘pemberontakan’ terhadap suatu keadaan tertentu yang mengganggu nurani humaniora seringkali lahir dan diungkapkan melalui seni. Wayang dengan bijaksana telah meletakkan ruang ‘mimbar rakyat’ dalam ‘pakem’ pementasannya melalui Punakawan dan Limbuk yang eksis di sesi ‘Goro-goro’ . Sebuah sesi yang selama ini dianggap sebagai sesi yang tidak penting dan hanya menjadi embel-embel pencegah kantuk. Biasanya muncul setelah jam dua belas malam.

‘Mimbar rakyat’ tersebut pada tengah dekade sembilan puluhan telah digarap lebih ‘berani’ dan diberdayakan oleh para dalang senior yang telah sampai pada puncak ‘kekesalan’ terhadap perilaku rezim Orde Baru. Pemberdayaan sesi ini pada kenyataannya seringkali justru ditunggu para penikmatnya, lebih nge’pop’ mengalahkan jalan cerita utama.

‘Mimbar rakyat’ tak melulu ‘guyon maton’ (asal humor), tapi digarap sebagai arena melontar kritikan. Bahwa seni pewayangan ber’roh’kan ajaran dari kitab Ramayana dan Mahabarata dan notabene berisi tuntunan hidup (hitam-putih, baik-buruk, jujur-bohong, adil-curang, dan lain sebagainya), ternyata dianggap tidak mempan lagi sebagai suluh pengembali nurani kebenaran dan keadilan yang di belakangnya berlaku ‘karma hasil perbuatan’.

‘Mimbar bebas’ ala wayang telah menjadi ruang untuk memuntahkan ‘kemarahan moral’ sang dalang. Dikemas dalam bahasa ‘rakyat’ dalam suasana ‘rakyat’ pula. Jiwa rakyat diserapnya, dihayatinya, direfleksikannya, dan diletupkan sedemikian rupa dalam bahasa kritik yang sungguh me’nyudra’. Tak heran bila di mana-mana menuai aplus dan ‘ger’ dari segala lapisan masyarakat penikmat wayang. Para pejabat pada saat itu pun juga turut hanyut dalam arus ger-geran, tak sadar bahwa mereka juga menjadi salah satu sasaran tembaknya.

Menjelang Reformasi 1998 dan sesudahnya, adalah Ki Manteb Soedarsono, sebagai salah satu motor gerakan ‘mimbar bebas’ ala wayang. Lugas, cerdas, dan sarkas. Tentang ini, penulis yang berada di daerah transmigrasi saat itu, memonitor pentas-pentas Ki Manteb Soedarsono melalui  RRI Pusat Jakarta yang tiap malam Minggu menyiarkan secara live pentas wayang kulit diselang-seling dengan wayang golek.

Telah lazim bahwa pentas wayang sebelum genre Ki Nartosabdo merupakan pengabdi kesantunan tutur tradisi Jawa yang penuh perlambang dan pesan-pesan luhur. Wayang sebagai media komunikasi yang berisi tuntunan penuh filosofi Jawa relatif terjaga. Namun di tangan Ki Manteb Sudarsono, monotonitas seperti di atas serta merta bisa raib dan berubah menjadi dramatis, sarkas, ‘nyelekit’, dan ekspresif (dari sebuah sumber, dramatika pewayangan menjadi roh yang memikat semenjak Ki Nartosabdo memperoleh pembelajaran dari dalang Ki Wignyo Sutarno).

Wayang adalah wayang. Dalang tetaplah pengendalinya. Idealisme lakon seakan-akan menjadi hak mutlak sang dalang, di luar standar minimal agar sebuah wayang kulit tetap disebut pementasan wayang kulit. Sudah barang tentu.

Penulis bukanlah orang yang paham dengan dunia wayang. Maka mohon dimaafkan bila terdapat kekeliruan dalam penganalisaan sejarah wayang. Penulis tergoda untuk menulis ini, karena setahu penulis, bahasa tuntunan dalam pementasan wayang ‘klasik’ cenderung halus dan terjaga kesopanannya, yang pada awal-awal Reformasi 1998 hingga sekarang terasa berubah menjadi ‘binal’ dan ‘liar’.

Mungkinkah zaman yang menghendaki demikian?

Para pemimpin, pemegang otoritas politik, hukum, ekonomi, pendidikan, serta agama seakan ‘budeg’ dan ‘ndableg’. Atau bahkan ‘menantang’! Pendek kata, dengan tuntunan halus (sindiran) ala wayang ‘klasik’ sudah tidak mempan. Maka sarkasme sang dalang genre sekarang agaknya tak bisa disalahkan.

Bila itu juga tidak mempan?

(kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini akan diperbaiki bila waktu telah memungkinkan)

Sunday 5 December 2010

Belajar Kedisiplinan pada Seorang Penjual Roti Bakar


http://sastrombudeg.blogspot.com

Dua minggu yang lalu saya ikut kawan pergi ke kota dengan menumpang mobilnya. Saya hendak mencari travo baru untuk mengganti travo mesin fotokopi kami yang terbakar (sudah tiga kali ganti dalam enam bulan terakhir-mungkin karena dari PLN voltagenya terlalu rendah (160 V) dan tidak stabil). Sementara kawan saya bermaksud membeli bensin untuk dijual kembali di kiosnya. Tiga jerigen kapasitas 40 liter teronggok di kabin bagian belakang APV-nya. Sudah tiga minggu ini bensin langka di daerah kami.


Saya telah mendapatkan travo dari tukang servis fotokopi kami. Si kawan tidak berhasil mendapatkan bensin di SPBU. Tidak punya surat izin!

Hari telah senja ketika kami sepakat pulang. Saat di depan mini swalayan, mobil menepi dan berhenti di seberangnya. “Cari oleh-oleh untuk Rico!”,  ujarnya menyebut nama anak kesayangannya sambil membuka pintu mobil. Saya pun menurut.

Saya membuntut saja, sebuah gerobak bertuliskan "Roti Bakar Bandung" menjadi tujuannya. Segera ia memesan sesuai selera. Saya juga. Kami menunggu pesanan sambil duduk di bangku panjang yang disediakan.

Dalam 'masa tunggu' itu, saya berada dalam kegelisahan yang amat sangat. Saya kagum kepada si anak muda penjual roti bakar itu. Dengan sangat cekatan, runtut, dan tertib, dia melakukan aksi ritual 'pembakaran roti'.

Di mulai dengan mengambil roti tawar, buka belahan roti, oles bahan isian sesuai pesanan, bakar, colak-colek dan bolak balik di pemanas (sembari membakar roti, ia lakukan pekerjaan sesuai urutan pertama untuk pesanan berikutnya), angkat, letakkan tepat di tumpukan kertas pembungkus, potong-potong, bungkus, ikat karet. Selesai. Lanjutkan roti berikutnya.

Begitu seterusnya.

Tak terasa, saya keasyikan melihat cara kerja si anak muda itu. Semua kebutuhan bahan dan alat produksi disusun sedemikian rupa sesuai urutan proses produksinya, jangkauan tangan terukur serta imbang dengan kerja pengawasan menggunakan mata. Saya menyadari, ini adalah suatu proses produksi yang sangat sederhana. Sangat sederhana. Tak bolehkah diapresiasi sebagai contoh bagi saya bahwa begitu penting arti kedisiplinan dalam suatu pekerjaan? Pekerjaan apa saja.

Begitu seterusnya.

Saya lalu teringat dengan proses pelayanan dan produksi pada kios tempat penjualan alat tulis kantor dan fotokopi milik kami yang dikelola istri. Semua serba semrawut.

Semrawut.
Begitu seterusnya ….

Bukan cuma sekali-dua kami berdebat tentang arti efisiensi dan efektivitas pada suatu proses produksi. Bagaimana cara meringankan kerja tangan dan mata atau anggota tubuh yang lain dalam suatu proses pekerjaan, bagaimana dalam waktu yang sama bisa menyelesaikan dua atau tiga pekerjaan sekaligus tanpa kerepotan, ngos-ngosan, dan 'gedubrakan', misalnya.

Pernah suatu kali, seseorang bermaksud melaminasi selembar ijazah SD-nya, yang karena suatu keperluan, barang itu ditinggal dulu dan akan diambil keesokan harinya. Apa lacur? Pagi harinya, ketika orang tersebut datang hendak mengambil orderannya, barang dokumen berharga itu tak berhasil kami temukan!

Laci-laci, tumpukan kardus, kertas-kertas dalam kantong sampah dibongkar lagi. Tidak ketemu! Pokoknya wang-wing-wung kardus dan kertas bekas dilempar sana-sini. Untung, uang di dalam laci tidak turut kami hambur-hamburkan.

Mulailah saling tuding dan saling menyalahkan. Muka istri saya dan 'pegawai'nya (seperti toko besar saja) terlihat pucat pasi. Kami stres berat. Untung (untung lagi) si tuan ijazah tidak menunjukkan kemarahannya. Dia sabar dan memaklumi (siapa tahu isi hatinya?).

Akhirnya si tuan ijazah itu pulang dengan tangan hampa. Kami berjanji bertanggung jawab menggantinya dengan ijazah pengganti bila masih tidak diketemukan.

Dua hari-tiga hari lewat. Ijazah itu tak tahu rimbanya. Itu artinya kami harus bersiap menanggung pengurusan ijazah pengganti yang konon harus mengikuti proses birokrasi yang cukup rumit. Mulai dari lapor ke polisi ... hingga mengurus sampai dinas pendidikan provinsi. Serasa byar-pet mata saya. Marah dan marah yang ada. Saya memang menyerahkan pengelolaan usaha itu kepada istri sembilan puluh persen. Saya sendiri ada usaha lain ….

Pada hari keempat kehilangan ijazah, pagi-pagi muncul seseorang tak dikenal dan mengulurkan  selembar ijazah yang diambil dari dalam tasnya. Itu dia yang kami cari! Ijazah SD tersebut terbawa olehnya saat melaminasi kartu keluarga! Wuah. Lega rasanya.

Kembali ke penjual  roti bakar. Bisa dibayangkan apabila si penjual tidak berdisiplin dalam menjalankan usahanya tersebut. Penempatan karet gelang (sekedar karet pembungkus!) di letakkan tepat di depan jidat. Pisau pengerat roti terletak di laci atas di samping paku penempat karet gelang tadi. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Itu adalah bagian dari pelayanan konsumen agar efisien dan cepat. Kadang kala para pelanggan bisa saja menumpuk antri. Sangat sulit dibayangkan bila penjepit roti 'pengentas' dari pemanas hilang atau ketlingsut terbawa oleh pembeli yang usai bayar langsung kabur! Atau menunjukkan ‘ketidakprofesionalan’ dengan berkata “Aduh, di mana ya soled saya taruh tadi?” atau “Maaf  Bu, Ibu lihat tumpukan karet di situ tidak?”

Ya, sekali-lagi sederhana. Sederhana sekali. Tapi awal dari kedisiplinannya, pastilah ada orang yang telah memikirkannya sebelum dia, bagaimana cara melakukan pekerjaan dengan nyaman, efisien, dan menyenangkan dan enak ditonton.

Sungguh suatu kebrilianan kecil yang tak terpikirkan oleh saya. Sebelumnya.

Saturday 20 November 2010

Aksi Perduli Korban Bencana Alam oleh OSIS SMAN 7 OKU


Tepat pukul 10.20 WIB, Jumat, 19 Nopember 2010, bertempat di Bank Sumselbabel  Cabang Baturaja Kantor Kas Peninjauan, Jalan Pasar Minggu Peninjauan Kecamatan Peninjauan Kab. OKU Provinsi Sumatera Selatan, telah dilakukan pengiriman (transfer) uang sebesar Rp 10.026.000,00 (sepuluh juta dua puluh enam ribu rupiah).ke rekening 0206-01-003277-30-1 BRI Sudirman Jakarta Pusat atas nama Global TV Peduli.

Uang tersebut di atas berhasil dihimpun oleh OSIS SMAN 7 OKU melalui relawan PMR, Pramuka, serta Rohis, dan berasal dari keluarga besar SMA Negeri 7 OKU ditambah sumbangan dari sebagian anggota masyarakat Kecamatan Peninjauan, untuk disalurkan kepada para korban bencana alam yang terjadi di beberapa bagian wilayah tanah air.


(ket. gambar: saat penghitungan uang 
sumbangan di SMAN 7 OKU)



Dalam pada itu, Ketua OSIS Ahmad Shoim didampingi pembina OSIS SMAN 7 OKU, Febri Anthoni, S.Pd., mengatakan bahwa aksi door to door penggalangan dana masyarakat yang  melibatkan para pemuda dan remaja masjid di desa-desa tersebut, dimaksudkan sebagai  upaya ‘jemput bola’ atas niat anggota masyarakat menyisihkan sebagian rezekinya untuk disumbangkan bagi para saudaranya yang terkena musibah tetapi tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya.

Selanjutnya Ahmad Shoim berharap agar aksi yang telah dilakukan tersebut dapat dijadikan momentum untuk pembentukan satgas bencana alam di tingkat sekolah, desa, dan Kecamatan Peninjauan, sehingga niat tulus anggota masyarakat dalam Kecamatan Peninjauan dan sekitarnya untuk membantu sesama yang tengah dilanda kesusahan dapat disambut dan diakomodir secara cepat, tepat, dan amanah.

 




(ket. gambar: acara serah-terima sumbangan dilakukan secara singkat dan simbolis. Relawan diwakili Ketua OSIS SMAN 7 OKU dan pihak bank oleh salah seorang petugasnya, Heri)









Catatan: Tindakan pemuatan tulisan ini  mohon tidak ditanggapi sebagai sesuatu yang ’riya’. Dilakukan semata untuk lebih memotivasi segenap anak bangsa  dalam mengasah  keperduliannya terhadap kehidupan berbangsa.
http://sastrombudeg.blogspot.com

Sunday 14 November 2010

Sampai Kapan Lanting Bertahan ...


http://sastrombudeg.blogspot.com

Adalah 'Jaka Tingkir' ala Suku Ogan.
Bila Jaka Tingkir 'Jawa' menjadikan bambu untuk menyeberang sungai/rawa sebagai 'gethek', maka 'Jaka Tingkir' Ogan ini menaikinya selama lebih kurang tujuh hari tujuh malam lalu ... menjualnya di kota!



Mereka menyusun rangkaian 'gethek komersial' (dikenal sebagai 'Lanting') ini di  daerah sekeliling Baturaja. Setelah siap, dengan perbekalan seadanya saja (tenda plastik, tikar, lampu minyak/obor, beras, dan alat masak sederhana) berangkatlah pelayaran tanpa layar mereka. Mereka tidak begitu pusing dengan lauk-pauk, karena Sungai Ogan telah menyediakan ikan yang berlimpah.

Dibawa ke mana bambu-bambu ini?
Setelah menyusuri Sungai Ogan selama lebih kurang satu minggu (tergantung arus air) dari Baturaja (hulu), sampailah 'gethek-gethek' ini di (hilir) Kota Palembang ( 'Muara Ogan'-pertemuan dengan Sungai Musi). Di sini 'gethek' dijual kepada para pengumpul atau langsung kepada konsumen. Biasanya bambu-bambu ini digunakan sebagai bahan pendukung/penopang /tangga saat pembangunan gedung-gedung tinggi.

Catatan: Sungai Ogan melintasi empat wilayah kabupaten/kota, yakni Muara Enim, OKU, OI, dan Kota Palembang. Panjang?

Friday 12 November 2010

Engkau Tahu Aku Saksikan!



















foto model ilustrasi ini anak berusia 3.5 tahun bernama dimas (berdarah ogan-bali), anak tetangga dan telah disetujui oleh orangtuanya.
http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 15 September 2010

Jadi Guru di Pedalaman Papua

http://sastrombudeg.blogspot.com
ilustrasi: foto Gunung Bromo, Kasada 18 Desember 1986, penulis kanan paling belakang. (Tim Pasmanega I)






Semasa SMP dan SMA, bersama seorang kawan (Burhanudin) saya gemar jalan-jalan keliling daerah dengan menumpang kendaran tanpa bayar (truk, kereta barang) dan jalan kaki. Pada SMP kelas III liburan semester lima (Desember 1984), bersama kawan tersebut berangkatlah kami dari Ambarawa ke Jakarta. Kami telah sampai di puncak Monas, Taman Mini Indonesia Indah, dll.  Betapa bangga kami saat itu. Kenapa? karena kami hanya dengan sekadar membawa ongkos beli nasi putih di jalan (lauk abon sapi bawa dari rumah) bisa menempuh perjalanan sejauh itu di seusia itu. Perjalanan itu kami abadikan dengan foto-foto bersama dan saya buat catatan-catatan perjalanan dalam buku lusuh, lengkap dengan isian jam dan tanggal.

Pada tahun 1986 (SMA) kami kembali melakukan perjalanan ke Pulau Dewata. Kami sempat mengunjungi Danau Batur (Trunyan), Istana Tampak Siring, Goa Gajah, Ubud, Sanur, Kuta, dan Museum Bali.

Dari situ, karena begitu kagum dan bangga sebagai anak Indonesia, saya pernah bercita-cita melanjutkan perjalanan sampai tanah Papua (Irian Jaya saat itu). Entah tanpa bermaksud apa-apa, saya dari jauh merasa dekat dengan tanah tersebut. Saya merasa cinta dengan Bumi Cenderawasih. Begitu ingin saya masuk ke pedalaman paling terpencil sekalipun. Saya hanya ingin saling berbagi ilmu dengan saudara-saudara saya di sana. Saya ingin menjadi guru di sana ....

Walau kenyataan berkata lain. Akhirnya perjalanan hidup saya terdampar di tanah subur di tepian alur Sungai Ogan (Peninjauan-Baturaja-OKU-Sumatera Selatan). Di tanah ini pun saya jatuh cinta dengan alam dan budayanya. Saya hanya ingin selain hidup di tanah tepian Ogan ini, juga ingin berguna bagi tanah yang telah turut menghidupi saya beserta anak-istri.

Akhirnya dalam uraian singkat ini, saya menjadi semakin sadar bahwa saya cinta negeri indah ini, saya cinta nasionalisme Indonesia dengan sepenuh hati. Sakit di Aceh, Papua, adalah sakit saya.

Saya manusia yang terlahir dalam suku Jawa, tapi koleksi lagu-lagu dalam komputer saya adalah lagu-lagu Batak, Minang, Papua, Sunda, dan Sumatera Selatan. Meskipun banyak yang saya tak tahu artinya, tapi itu seakan mampu menghayatinya dan serasa terbang ke di mana lagu itu berasal.

Ketulusan bernasionalisme dalam Indonesia Raya-ku tak ada hubungan dengan kepentingan ekonomi. Aku bangga punya Saudara Papua, Saudara Aceh, Saudara Ogan, Saudara Komering, Minang, Batak, Dayak (saya pernah tinggal bersama kawan Dayak, Bugis, Lombok, dan Banjar di Kampung Baru - Tepian Sungai Kelian Tambang Emas PT KEM Kutai Kalimantan Timur-1988). Juga sudah barang tentu suku-suku lainnya.

Tuesday 17 August 2010

Ganyang Malaysia!


















http://sastrombudeg.blogspot.com

Pindahkan Ibukota Negara RI ke Kalimantan atau Sulawesi dan Setelah SBY, Jadikan Orang Non Jawa Bali Sebagai Presiden

http://sastrombudeg.blogspot.com

Pindahkan ibukota negara RI ke pulau Kalimantan atau Sulawesi dan setelah SBY, jadikan orang dari non Jawa-Bali sebagai presiden. Perpaduan sebagai simbolisasi lagu "Dari Sabang Sampai Merauke", relakan dan naikkanlah orang dari Aceh dan Papua.

Wednesday 14 July 2010

Animo Menjadi Anggota Militer atau Sipil, ke Mana Kecenderungan?

http://sastrombudeg.blogspot.com
sebenarnya ini bukan masalah besar atau kecil. sedikit atau banyak. berdasarkan pengamatan nonilmiah penulis, saat ini ada kecenderungan (dari yang berminat) putra-putri pertiwi lebih memilih menjadi anggota sipil bersenjata, atau sipil murni tanpa pistol tapi bermasa depan ekonomi yang cerah ketimbang bergelut di militer. setelah tidak diterima di sipil 'bergengsi' tersebut, baru melirik ke militer (bila kondisi fisik, mental, dan intelegensia memungkinkan).

saya tidak tahu ada apa di balik kecenderungan tersebut. banyak pikiran 'kira-kira' tapi sangat tidak etis saya sampaikan di sini.

tulisan ini saya naikkan oleh sebab pertanyaan-pertanyaan yang berputaran di kepala saya:
1. kondisi yang demikian, apabila tidak dicari solusi terbaik oleh militer, mungkinkah kita akan kehilangan putra-putri generasi terbaik di bidang militer?
2. dengan daya rangsang yang turun pada bidang kemiliteran,  patutkah ini juga dianggap sebagai    sebuah sinyal kemerosotan nilai-nilai cinta tanah air dan idealisme kebangsaan absolut tanpa bumbu-bumbu kepentingan ekonomi pribadi?

wallahualam.

Tuesday 27 April 2010

Birokrasi Kita, Keropos dan Usang

 
ganti baru atau cat ulang?
o...! sungguh sial! tetap saja dipertahankan!
mungkin karena ini negeri bernama indonesia....

http://sastrombudeg.blogspot.com

Thursday 8 April 2010

Bagi Helai Rambutmu

http://sastrombudeg.blogspot.com

Inmemorium

http://sastrombudeg.blogspot.com

Hujat

http://sastrombudeg.blogspot.com

Di Palestina ada Bunga

http://sastrombudeg.blogspot.com

Di Ulang Tahun Ke-VII-mu

http://sastrombudeg.blogspot.com

Metamorfosa

http://sastrombudeg.blogspot.com

Dahaga Penyair Transmigran

http://sastrombudeg.blogspot.com

Pesta belum Berakhir

http://sastrombudeg.blogspot.com

Setangkup Hati dari Ladang Transmigrasi

http://sastrombudeg.blogspot.com

Lagu Malam Penyair Transmigran

http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 3 April 2010

Aku di Pinggir "Zaman" Siapa (perca puisi pendek)

aku di pinggir "zaman" siapa
aku semakin 'pah-poh' saja
ini zamanmu
ini zamanmu

biar aku di pinggir saja
setia pada garis waktu
menontonmu....
menontonmu....
sekali waktu menepuktanganimu
menertawabahakimu
menangisimu

aku iri
jujur kuakui
aku iri
peninjauan, 20 pebruari 2010



embun detik – detik telah berlalu
sehati mencari cinta
yang terbuang
kala lajang menentang

sumpahku menggenang
antara darahku dan nafas
sehati kita
tak ada sejati
gelombang bukti adakah sumpah yang menutup mata
jangan sisakan hatimu pada orasi yang menggiring senja jatuh di cakrawala
buanglah sampah sampah itu
agar perjanjian ini tak dikotori oleh darah mati

menderu apapun
aktifkan saja apa yang akan diaktifkan oleh pertarungan dari
apakah kita lalu menghendaki semua ini seperti limpahan rezeki yang tak tertandingi oleh apapun juga
sehingga nalar tak berpedoman pada akhir hidup yang tak nyaman.
mari kita menikmati saja rasa yang membangkang di lubuk hati terdalam
hanya itulah yang bakal lahir
keindahan yang menjulur pada sekujur peradaban manusia

wahai sang pengembara, jejakmu tertinggal di padang
semoga seluruh titahmu terakomodasi dengan baik
peninjauan,2008-2009
Idheoth
( generasi gagal panen? )

idheoth namaku !
terlahir ketika kemapanan tengah dipetakan
aku lahir ketika revolusi belum lama diakhiri
orde baru merintis jalannya

aku tak tahu,
dalam darahku terkandung apa
aku mudah menggelegak
tapi juga mudah ciut bak pengecut

lalu
apa yang menggerakkan seluruh syarafku
aku tak juga tahu

utopia seperti menggelinding begitu saja
realita seringkali berbenturan dengannya
pembelajaran tak pernah selesai
pembentukan demikian juga

kemudian
apa songsongan yang hendak dimatikan
tak aku tahu

akulah idheoth itu
yang melanglang menindas kemerdekaan diri
yang menjelang tak pernah terjelang
yang melenggang tanpa irama gendang

idheoth namaku
tempat keberhasilan selalu terkurungkan
14 oktober 2007 riyaya kaping kalih



pada sebuah pesta
yang dialiri susu madu dusta
rakyatku berbondong melahap:
angin yang berhembuskan

seketika aku melaknatku sendiri
adakah seuntai ramalan menguntai dendam 
4/12/2009



kamis kliwon, 02 april 2009
6 bakdomulud 1942
6 rabiulakhir 1430 h

pagi itu, gugur sudah kewajibanmu menghirup debu dunia
selamat jalan, bapak! 
4/14/2009



ini sayat rindu
yang mengotori waktu
perjumpaan keadilan
dimitosi keniscayaan
sebarluaskan sayang
jelmakan menjadi …………………….
11/15/2009 22:53:45




ini dindingmu!
biar aku di luar!

berapa tegihan kau temu?

ini dindingmu
aku di luaran 
11/18/2009 12:51:35 am




onggokilah aku dengan sampahmu!
tenggorokanku masih lapang menerima waktu?
11/18/2009 12:52:46 am





pada setangkai kata
yang meruyak menjadi deretan drama
dan rumputan noktah
abjad tak berurutan
tumbuh merayapi syaraf pertumbuhan jiwa

aku bertubi
…………………. 
peninjauan, 09 nopember 2009 21:38:36


darahku tersisipi limbah rindu
entah di mana kutemu
entah ke mana arah alirmu
12/14/2009 12:14:35 am

rinduku berjulang
12/14/2009 9:55 pm

ada selongsong rindu
jatuh di pinggir jalan
adakah yang terbidik korban malam ini
ataukah hanya keisengan menepis kelam?
15 december 2009 3:48:27 pm

lautan naskahku
hilang ditelan rezim ekonomi
dan aku menganyamnya jadi sebentang mimpi
di arus keuzuran
adakah waktu
terganti
15 december 200919:55:21

kau yang menyamun
aku yang disamun
aku yang berutang
mangapa kau harus bayar
ini renik
tak pernah berbentuk manik
sejumput remah ampas kopi semalam
dan pagi mencuci gelas kotor
12/19/2009 11:57:00 pm

batu-batu nisan para pujangga
tak bicara apa-apa
karena roh sastra
menggelandang di ladang-ladang gersang
buku-buku tebu rapat tak berjeda
kerdil jagung-jagung muda

batu-batu nisan para pujangga
tak berbatu warna
sebab setiap detak waktu
adalah warna

batu-batu nisan para pujangga
tak!
12/20/2009 12:14:31 am

aku tak melihat guguran lava
berpijaran di sekeliling jiwa
angin seperti bergagang waktu
menabokiku
sepanjang waktu

badai kehadiran
itu
kutunggu
12/25/2009 3:18:50 am

sering
rencana berjalanan
12/25/2009 3:24:38 am

pada secarik keheningan
yang tercabik dari seplano kehirukpikukan
aku mengantarmu
batas pagar semampu-mampu kutembus
kabut yang berjalan beriringan
lalu berpisahan
bulu-bulu angsa yang gagal diterbangkan
berhinggapan di daunan asing
aku menyatir puisimu
menyanyikannya seperti keparauan menyayat ladang kelam kemarau panjang
tapi kedinginan musim penghujan
menyerupaimu
menyerupaimu
12/26/2009 1:34:36 am

mobilmu seperti hukum mengetuk kepala prita
sama dengan kepala rakyatmu
12/30/2009 12:32:32 am

bermandikan magma
menyeluruh
mendalam
menjiwa
menyetubuh

apimu
terkatung menyelundup
1/1/2010 4:25:55 am

aku ingin segelas kopi
dengan sepucuk sendok teh gula tebu
sebelum sinyal waktuku
1/1/2010 4:28:49 am

biusmu menyerupa
pada wajahku terstempel dogma
bilas raut banditku
adakah terekam dalam ranamu
1/1/2010 4:33:34 am

aku tak tahu
kenapa serasa harus bersiap
ditunggu waktu yang kuucap dulu?

keberanianku kuncup
anak-anak manis
menggelayut
1/1/2010 4:35:30 am

sisa mabukku menempel di seliwir
rambut di janggutku
masihkan harus bercanda tentang mati
dalam raung kepayang kelelahan
1/1/2010 4:38:47 am

ya, ini hanya gundukan dzat bernama waktu
aku mengais, menggali, melorongi, mengintimi, dan apa lagi!
inti kedalaman
di mana aku menjejak?

tapi waktu juga
menentukan lenyapnya
kesiaan itu
ujung pisau pencarianku
ujung pisau pencarianku
ujung kesiaanku!
1/3/2010 2:12:19 am

wahai ombak sang pelabuh
penyingkir karang
rumput-rumput laut
1/13/2010 1:58:07 am

jadikanlah anak-anakku
sebagai seorang polisi yang tidak berdoa dan merindukan agar ada yang melanggar hukum sehingga ada tindakan
sebagai dokter yang tidak berdoa agar selalu saja ada yang sakit sehingga ada pengobatan
sebagai guru yang tidak berdoa agar selalu ada anak-anak bodoh sehingga pendidikan tetap berjalan
sebagai ……………………..
1/13/2010 2:10:27 am

ambarawa
rel mati
ke tuntang
benteng willem i
tepi rawa pening

ambarawa
halte
penanti bus-bus tua berkepala
gelas-gelas teh yang dionggok di atas kios rokok
dihampiri dan diteguki calo dan kondektur
bangku tempat kita saling tunggu
di mana kini …

ambarawa
tak ada reuni
semua sibuk sendiri
anak-anak rangga tirta
sudah dua yang mati
gedung pemuda,
teriakan salah ucapku
masihkah mengganggu tidur kalian …

ambarawa
di terminal bus antarkota nasi rawon kemanisan
tak hangat lagi untuk dinikmati
dan panjang kidul,
pohon-pohon sawo di perempatan jalan
rumah tua, jendela-pintu kaca
buram oleh embun senja bulan desember
anakmu sudah berapa …

ambarawa
lonceng gereja jago berdentang di subuh buta
seperti supit udang harus mulai digenderangi
dan gerilyawan merayap di tebing-bukit jalan
dan tank nica bergerantangan di terang fajar tiba …

ambarawa
rinduku mati …
1/25/2010 12:43:58 am

Sunday 28 March 2010

Di Benakku, yang belum Ku-urai Jadi Artikel

http://sastrombudeg.blogspot.com
1. aku malu ikut-ikutan ngrumpi soal korupsi
2. adakah 'mafia' dalam pendidikan kita?
3. pengkaderan calon pemimpin bangsa melalui akademi/sekolah tinggi kedinasan, sudah bebaskah dari 'titipan' dan memenuhi rasa keadilan bagi anak-anak miskin tapi cerdas?
4. di mana si 'cerdas' anak orang miskin berposisi dan berprofesi?
5. fenomena: animo untuk menjadi pegawai pemerintah, antara di pulau jawa dan luar jawa
6. antara ujian nasional dan rahasia negara bertaut dengan penegakan hukum
7. islam sebagai bagian nkri
8. dakwah islam ala walisanga: masihkah relevan kini?
9. mutu untuk publik: tolak label 'kwalitet ekspor'
10. islam di barat dan islam di indonesia: keterbukaan dalam toleransi
11. anak pak menteri tidak lulus ujian nasional
12. warung ndelik
11. menanti pengganti mesin cetak offset dengan digital yang memenuhi seluruh mutu dan biaya
produksinya (kebingungan investasi)
12.
"lupa dirikah" saudara-saudara kita sebagian etnis tionghoa? mengapa harus berdiri 'perkumpulan'
pengusaha tionghoa baru-baru ini? semenjak reformasi, kaum tionghoa ingin dianggap sebagai suku bangsa di republik ini dan selalu mengedepankan isu minoritas dan seolah-olah 'manja'. Menurut saya, kalau sebagai suku, tionghoa adalah bukan minoritas, sebab suku ogan di tempat tinggal saya lebih sedikit jumlahnya dibanding etnis tionghoa. tapi kalau atas nama 'bangsa tionghoa' jelas pas sebagai minoritas. pilih salah satu, jangan sampai menggunakan 'hukum suku' tapi ber'perilaku' sebagai bangsa tionghoa di indonesia.(tulisan ini membuka jalan untuk diperdebatkan agar tidak 'mengulang kesalahan-kesalahan' masa lalu). junjunglah langit indonesia. saya khawatir, sementara para pribumi masih sibuk dengan pembenahan pendidikan yang 'awut-awutan' dan berfikir lokal, sementara orang kaya (terutama etnis tionghoa kaya) menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri, dan pada akhirnya tidak ada dalam benak mereka nasionalisme indonesia. yang ada hanyalah internasionalis yang melulu membangun jaringan bisnis internasional dan menerkam indonesia sebagai pasar yang besar.(tulisan ini belum tuntas, dan kelak ingin saya lanjutkan, agar semakin jelas pandangan saya tentang topik ini, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman).
13. aku pengusaha distributor produk cina
14. pemimpin daerah dan isu perdagangan bebas, apa visi dan misi mereka?
15. feodalisme: mati di tanah jawa, justru subur di luar pulau jawa?

Tuesday 23 March 2010

Mbah Tombel Masih Puasa Mbudeg

http://sastrombudeg.blogspot.com

 Ilustrasi: Foto potongan pentas Teater "Tanya" SP 5 dalam drama komedi karikatural berjudul "Juragan Repto Semprul" pada September 1997 di Rumah Dinas Bupati Ogan Komering Ulu (pemeran: T. Yuliantoro)

















mbah tombel, wajahnya tersungkur di rumpun ilalang kecoklatan. beku di antara slogan yang bergelombangan. jargon-jargon telah semesta dipetakan

matanya, mata boneka mainanku semasa kecil. ekspresi yang tak pernah terganggu apa pun.
apa pun

tak ada sengat lebah menggelinjangkannya. tak ada gigit semut dalam gendang telinganya

ia belum mati
ia belum mati
lebih baik begitu
lebih baik begitu!
apa pedulimu!
(peninjauan, dinihari, 17 pebruari 2010)


diamnya,
kelok sungai landai air mengalir
kepasrahan menuju muara terbawah
penyu, lokan, dan nener
menyambut kebekuan seperti biasa

diamnya,
menampik suara-suara muka bumi
yang telah jauh menggaung di dinding dalam telinganya

adakah dapat kau tawarkan hening walau secawan?
agar diamnya tak lagi hanya karena menunggu padam!
(peninjauan, dinihari, 18 pebruari 2010)