ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Thursday 30 December 2010

Pindang Tulang 'Jujur'

 
Pindang tulang adalah masakan gulai berkuah khas Sumatera Selatan, yang hangat-hangat dimakan bersama nasi dalam sebuah mangkok. Kuahnya bisa bening seperti sop bisa juga kuning kunyit. Di dalamnya bersemayamlah bongkahan tulang sebagai menu utama, biasanya berupa engsel atau tempurung lutut kaki sapi atau kambing. Itulah mengapa disebut ‘pindang tulang’, karena memang menu tersebut hanya berisi kuah berbumbu plus tulang yang dipotong-potong dalam ukuran besar.

Meskipun bernama ‘pindang tulang’, ada juga penjual yang ‘tidak tega’. Saat mencacah tulang, masih disisakannya serpihan daging yang menempel pada tulang. Sedikit jadilah, namanya saja ‘pindang tulang’.

Pindang tulang dengan sedikit daging seperti di atas sangat disukai oleh para penggemarnya dan dinamai pindang tulang ‘tidak jujur’. Lho kok? Ini hanya selorohan saja. Maksudnya, namanya kan pindang ‘tulang’, tapi oleh si penjual kok dagingnya masih disertakan juga? Sungguh suatu ‘ketidakjujuran’ yang membuat kita tenggelam dalam kenikmatan kan? Untuk jenis pindang tulang seperti ini, kota Palembang lah sorganya. Para penjualnya tidak ‘pelit’ menyisakan serpihan daging pada tulang.

Tapi jangan khawatir, untuk Anda yang memang menomorsatukan ‘kejujuran’ pindang tulang, saran seorang penggemar masih bercanda, datanglah ke kota “X”. Di sini para penjual pindang tulang terkenal ‘jujur-jujur’. Artinya, tulang-tulang di mangkok Anda dijamin akan mulus tanpa daging yang menempel! Ya, paling adalah sedikit sumsum di dalam tulang untuk disedot-sedot atau pipihan tulang rawan biar berbunyi ‘kriyek-kriyek’.  Ya, disyukuri lebih baik, namanya saja pindang tulang! Nikmatilah kejujuran ala penjual di kota “X” tersebut dengan lapang dada! He..he…!

Masih pakai ‘tapi’, apabila Anda berdua dengan seorang kawan masuk di sebuah rumah makan khas pindang tulang dan kebetulan dengan kawan tersebut berbeda selera terhadap ‘jujur tidaknya’ si pindang tulang, supaya tidak terjadi keributan dengan kawan atau bahkan dengan penjualnya, maka jangan coba-coba memesan masakan tersebut dengan mengatakan kepada si penjual: “Buatkan pindang tulang yang 'sangat' tidak jujur satu porsi untuk saya dan pindang tulang jujur yang 'sejujur-jujur'nya satu porsi saja untuk kawan saya …!”



http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 25 December 2010

Remunerasi

(aku latah, mari terbahak bersamaku! ketika diberikan bukan berdasar perbaikan moral kesejahteraan, tapi lebih karena kebobrokan mental pelayanan)

saat pengabdian bukan lagi sebuah panggilan
(hanya menjadi pereda barisan pengangguran)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat profesi bukan lagi sebuah pilihan
(hanya menjadi batu loncatan keluar dari kesempitan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat risiko bukan lagi sebuah tantangan kepahlawanan
(akibat sejarah banyak yang diplintirkan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat amanat bukan lagi sebuah beban
(karena agama hanya dianggap sebatas departemen kedinasan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat jabatan dan pangkat bukan lagi sebuah penghargaan
(karena hanya ditujukan sebagai ladang penghasilan
bawahan dikebiri sebagai pelayan dan disapiperahkan
naik pangkat dengan segepok uang)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat nama baik bukan lagi sebuah kebanggaan dan kehormatan
(karena nama buruk cepat dilupakan dan termaklumkan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat hukum bukan lagi sebuah norma keadilan dan pengayoman
(karena keadilan hanya milik orang duitan dan tak ada contoh dari atasan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat ketulusan bukan lagi sebuah kenikmatan
(karena keikhlasan hanya dianggap sebagai barang langka dan kemunafikan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat remunerasi dipandang sebagai sebuah keharusan bagi mereka,
(ketuk palulah! ketuk-ketuklah!)

(mari terhanyut bersamaku!)

rakyatku!
bagi kalian yang tak berpenghasilan tak bergaji!
tak usahlah berharap terjadi remunerasi pelayanan terhadap kalian
tak usahlah lalu gigit jari dan tetaplah mengaji,
mari kita ke surau milik wak haji untuk berdzikir , bertasbih, atau berdzanzi
sedekahilah mereka dengan remunerasi rampasan hak-hak kalian
sedekahilah mereka dengan kekhusukan Istigfar kalian
sedekahilah mereka dengan keserahan Tahmid kalian
sedekahilah mereka dengan kebiusan Tasbih kalian
sedekahilah mereka dengan ketakziman Al Fatikah kalian
sedekahilah mereka dengan kekayaan Al Ikhlas kalian
sedekahilah mereka dengan kemahaan Allah kalian!
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un....

http://sastrombudeg.blogspot.com

Friday 24 December 2010

Ramah Tamah di Balai Kota

(usai upacara bendera tujuhbelasan di halaman depan balai kota)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
sebuah puisi
terinspirasi dari sebuah foto seorang veteran
yang tengah makan nasi bungkus di pinggir taman
seusai mengikuti upacara bendera tujuhbelasan
entah karya siapa foto itu , terima kasih
telah memberi bahan pemikiran

------------------------------------------------------------------------------------------------------

tibalah sesi ramah-tamah para pejabat dan tamu undangan.
seperti suasana pulang menang perang,
masing-masing berlaku anggun bak james bond.
berjas-dasi dan tawa-tiwi,
pin aneka medali bergelantungan tersemat di saku kanan-kiri,
termasuk mungkin didapat dari beli di senen-tak perduli,
ahai, memegang gelas berleher angsa saja seperti banci!

sementara itu, pak tua sang veteran sejati
tengah asyik menggelontor tenggorokannya dengan air mineral gelas plastikan,
duduk sendiri di emper parkir belakang mobil-mobil mereka ....

pak tua saksi pelaku sejarah palagan ambarawa,
pemegang hak pengena bintang gerilya yang juga telah hilang entah di mana,
kegerahan dengan seragam legiun kebanggaannya,
sepasang setelan hijau tua plus peci oranye itu hanya dikenakan dua kali dalam setahun (untuk upacara bendera hut ri dan hari pahlawan, dan biasanya ia turut tegak berdiri di barisan peserta, sementara para pejabat, perwira tentara dan polisi, tamu undangan, tak ketinggalan para pengusaha keturunan yang berjasa sebagai sponsor acara, tak ada sungkannya turut duduk di tribun utama).

tapi meski bangga dengan seragam legiun yang biasa tersimpan di kopor butut berdebu di kolong dipan reotnya, 
jujur ia lebih nyaman dan merdeka berkaus oblong jamuran,
terasa semriwing melekat di kulit sepuhnya....

ia hadir di lapangan upacara karena undangan resmi dari panitia tujuhbelasan yang dibawa pesuruh kantor kelurahan kemarin lusa. ia bangga. jelas bangga mendapat undangan mengikuti upacara bendera tujuh belasan di balai kota. serasa jerih payah para pejuang dihargai oleh bangsanya. cukup segitu saja kiranya, tak usah berpikir tentang kesejahteraan di sisa hidupnya, apalagi remunerasi baginya (aku latah lagi).

selanjutnya, para pejabat dan tamu digiring ke ruang lainnya,
di meja telah tersaji aneka hidangan lezat yang jelas khas bukan makanan zaman perang, persantapan basa-basi pun dimulai, masing-masing bersikap kaku karena harus menjaga tabiat sepersis priyayi. memegang sendok saja seperti memegang tahi,  jari jemari ‘cekithingan’. antara memegang dan hendak dilepaskan. penuh kehati-hatian menyuap nasi ke mulut yang terbuka hanya dua puluh lima persennya saja. gigi jangan coba-coba terlihat  tamu lainnya. konon, itulah etika resepsi makan bersama yang biasa diajarkan di  akademi calon perwira dan kursus-kursus calon pejabat negara.

di saat yang sama,  di pembatas antara parkiran dan taman di bawah pohon palem bunting, duduklah sang veteran sejati sambil menyantap nasi bungkus dengan nikmatnya,seperti menemu kelangkaan menu yang tak pernah tersaji di meja pojok dapur bedeng kontrakannya. sendok bebek plastik itu meleot, sungguh susah menggiring butiran nasi dan sambal goreng hati ke dalam mulut keriputnya.

acara seremoni dan basa-basi bubarlah sudah,
mesin mobil-mesin mobil telah dinyalakan, ac dihidupkan, para sopir pribadi dan dinas tegak takzim di samping pintu mobil yang terbuka ....

belum ada separo nasi bungkus berpindah ke perutnya, sang ajudan pak wali mengusir dengan halus agar pak tua keluar dari area. harus steril katanya. apa boleh buat, ....
sang eks gerilyawan itu pun tahu diri dan kaya akan permakluman. kemerdekaan adalah laman mandiri yang harus diperjuangkan. kemerdekaan adalah kotak-kotak tabula yang berlainan rasa dan harga, termasuk penempatannya. kemerdekaan memang bukan hadiah dari penjajah, apalagi dari pak walikota yang dalam pilkada lalu ia juga turut mencontreng fotonya!

dalam terik itu, yang terbenak bukanlah kesakithatian, tapi bayangan situasi ketika ia harus tertatih-tatih menyingkir dari sebuah tebing di tepi jalan raya antara bedono dan ngampin. kaki kanannya tertembus pecahan mortir brigade musuh.

dengan sisa kegagahannya,
sang veteran perang itu terseok, patah-patah melangkah pulang ke bedeng kontrakan,
sepasang sol sepatu milik pelanggan
hari ini harus dituntaskan....



(Catatan pribadi tentang foto ini)
aku kesal bila teringat ini!
di mana konglomerat-konglomerat itu? pengeruk ekonomi negeri yang turut diperjuangkan Bapak ini bersama kawan seperjuangan beliau?

merekakah kini yang jadi kaki tangan cina menjadi distributor produknya? membuat/memasukkan barang-barang yang tidak bermutu, barang-barang palsu untuk dicekokkan ke rakyat republik ini? di manakah ayah dan kakek mereka saat masa perjuangan dulu?

o…, dari catatan sejarah, ternyata mereka sibuk berbisnis dengan penjajah serta turut mencekik rakyat pribumi yang tengah sekarat! ketika kita merdeka, mereka juga sibuk berbisnis dengan para penguasa negeri ini. Tak terlintas di kepala mereka untuk tulus bersahabat dengan para pribumi! mereka hanyalah kaum oportunis sejati, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu malu! mereka hanyalah orang-orang pengabdi uang! mereka itulah orang-orang yang menjadi akar korupsi negeri ini! tidak bisa dipercaya sampai kapan pun. tak ada INDONESIA RAYA di dada mereka!
indonesia, tanah air siapa ....
wahai pribumi bangkitlah. bangkitlah dengan jaringan-jaringan ekonomi kerakyatan kalian sendiri. bahu-membahulah untuk ekonomi kalian! tak ada keberpihakan dari lain pihak terhadap kalian. yang ada adalah kepentingan! kepentingan untuk memperlebar jaringan bisnis dan keturunan mereka sendiri! kepentingan memproyekkan dan melelang  kalian dari para pemegang kebijakan!

aku kesal bila teringat dan melihat ini!
 
mungkin karena negeri ini bernama indonesia ….

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 22 December 2010

2009

badai tak terbenak
menyingkir dari puisi
lantak
hilang kata

http://sastrombudeg.blogspot.com

Sajak Perkabungan

 
aku tidak tahu engkau datang
sebab sesisir mega pun tak terbayang
dan puisi itu kutinggalkan di atas tungku
membiar dilalap api

asap yang kubenci
menggenang di dada sebelah kiri
mengendap
meresidu perjalanan jauh
titik terjauh yang tak mampu kutempuh!

http://sastrombudeg.blogspot.com

Kepada Sastrogambleh!

engkau bapak bagi yang membapakkanmu
engkau citra bagi yang mencitrakanmu
tapi kau bukan narsis!

di usia ini Nabimu diangkat menjadi Rasul Allah
adakah engkau berani menjadi rasul bagi dirimu sendiri
merasuli ketambahbaikan akhlak
merasuli ketambahbaikan iman
merasuli ketambahbaikan kebapakanmu dan kesuamianmu

engkau selalu saja menunggu momentum, tak mencarinya, atau bahkan tak menentukannya
atau hanya akan berlalu seperti ultah ketujuhbelastahunan
tuang, hingar, dan hilang!

http://sastrombudeg.blogspot.com

Serenade V

bila mahligai ini adalah sebuah kapal,
kami ingin ia setangguh pembelah karang. tiupkanlah angin buritan, agar laju mengarus menjiwa. kalaulah terjemput badai taufan, janganlah menjadi tamparan yang menenggelamkan. mohon jadikan ia pandu dalam lenting keseimbangan yang memudahkan. bilalah terlabuh pada hampar pantai penghabisan, kami ingin bertenang, murni, mengindahkan lafal agung-mu.



http://sastrombudeg.blogspot.com

Serenade IV

mengapa kita berpencar mencari kecerobohan diri
sedang di lautan telah datang badai penghabisan
tapi di luar jendela, telah terbakar hati
entah siapa yang menyalakannya
mungkin karena ketimpangan yang telah menjadi tetanus
sistemik
mendarah
membuih
membubung tinggi
pucuk-pucuk kelapa bermatian

seperti pecundang
awan melayang
renggang
lalu buyar terbungkam

kita lalu jadi terperangah menyaksikan aneka kejadian
yang hanya menyisakan isak tak berkesudahan

akankah bila terlanjur pecah
hati kita masih dapat disatukan
padahal tamparan-tamparan terlanjur pula saling menyakiti

momentum apalagi yang hendak kita ciptakan
untuk kita tunggu kesekian lama lagi?

di mana mercusuar-marcusuar itu
yang menjadi rambu bagi kapal-kapal pikiran
yang hendak berlabuh pada pantai yang salah
tempat burung-burung camar nan lelah,
disantap ular-ular sang pemangsa

http://sastrombudeg.blogspot.com

Siluet ke Berapa?

sejujurnya
ini adalah kejujuran yang jujur tak ingin kujujurkan
sebab zaman telah tua
begitu rentanya

sejujurnya
ini adalah kejujuran yang tak jujur aku lakukan
sebab waktu yang begitu pendek
untuk menjelaskan arti kejujuran yang jujur tak kujujurkan

sejujurnya
ini adalah kejujuran yang terbekap dalam sekat

http://sastrombudeg.blogspot.com

Konserto Persinggahan I-II

(tentang peron kecil sebuah stasiun kecil-versi satu)

sinyal-sinyal telah diaktifkan
kereta itu datang
terlambat seperti sediakala

peron kecil sebuah stasiun kecil
gerimis desember seperti tahun lalu
malam lengang terasa ada yang dimabukkan

persinggahan kecil di sebuah stasiun kecil
seorang perempuan muda,
dalam-dalam terakhir menghisap sigaret putihnya
diam-diam lalu menginjaknya

tak ada sapa kepada siapa
di pintu gerbong, begitu saja ia hilang terkatup
selamat jalan!

ruang-ruang kembali kosong di seberang jauh
malam mengeras
kesunyian menyelidik
di peron kecil sebuah stasiun kecil
sebuah buku gibran tergolek di bangku panjang

angin mengencang
bola lampu 18 watt meremang dikerubut laron-laron
sayap-sayap yang bergeletakan di lantai granit kusam
adalah kurung buka bagi keasingan sebuah sajak
seorang tua penjaga malam stasiun kecil
terkantuk-kantuk dengan peluit di bibirnya
ia tak berharap kereta itu datang kembali
buku ‘cinta yang agung’ gibran,
erat terdekap

















(tentang peron kecil sebuah stasiun kecil-versi dua)

tenang-tenang,
aku akan naik kembali
begitu peluit sang penjaga stasiun kecil dilengkingkan
ruang tunggu peron kecil sebuah stasiun kecil
kuharap tak ada yang tertinggal di sini
selain jejak, yang di kemudian hari juga pasti disapu kembali
atau tertutup debu-debu setelahnya

baik-baik,
aku akan kembali duduk di bangku penumpang
di gerbong tua karatan, berbercak-bercak sisa muntahan
tak juga akan kutoleh peron kecil itu sekali lagi
dari jendela kaca pecah seribu bekas lemparan batu gelandangan
sekalipun sunyinya utuh bisu menyeringai

baik-baik,
aku akan pergi dari sini
kutitip buku gibran dengan sampul terkoyak
boleh saja teronggok bisu di bangku itu untuk selamanya
tak perlu ada yang merasa memilikinya
siapa saja boleh baca
menyibak satu-dua, lalu tinggalkan sekenanya

keabadian yang kujelang
adalah kematian penutup perjalanan



http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 18 December 2010

Anakku Mencatut Profilku!

Mendengar kakaknya yang bersekolah di luar daerah melapor ingin mengikuti les gitar klasik, adiknya (perempuan) pun ikut ribut ingin dibelikan gitar. Kami minta waktu satu bulan untuk mengabulkan permintaannya. Kas keluarga sedang kosong. Tapi dia tetap berkeras ingin dibelikan secepatnya.


Di siang, hari kedua setelah ribut, ketika ibunya masih di kota untuk belanja kebutuhan kios ATK-nya, kepadaku, anak perempuanku meminjam HP yang tergeletak di meja komputer dan membawanya pergi. Aku melanjutkan mengetik. Kami hanya punya dua HP murahan. Satu dibawa istri, dan satunya untuk di rumah. Anakku memang tidak kami beri dengan alasan sekuriti.


Sore, saat ibunya tiba di rumah dan barang belum diturunkan dari mobil, anakku sudah ‘sumringah’ menyambut kedatangannya. Sambil masuk rumah, istriku nerocos kepadaku, “Uang ludes…des untuk belanja barang, gitar pesananmu belum aku belikan!”
“Siapa yang pesan gitar? Aku nggak pesan kok!”Jawabku bingung.
“Tadi siapa yang SMS?” Istriku melanjutkan.
Aku menoleh kepada anak perempuanku. Ia merengut.
“Apa bunyi pesan SMS itu?” Tanyaku penasaran.
Ujar istriku kemudian, “Beli gitar, Luh!”


Aku tertawa. Anak perempuanku menangis. Dialah yang mengirim SMS itu dan langsung menghapusnya. Ia telah menyebut ibunya dengan kata ‘Luh’, nama kecil biasa aku memanggil istriku. Ia telah mencatut profilku!
http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 15 December 2010

Saklar Dinding

http://sastrombudeg.blogspot.com

hanya bisa bangga sebagai pemakai, klak-klik...! mbenerinya nggak tahu, apalagi membuatnya. semoga ini hanya saya, bukan orang selain saya....

Monday 13 December 2010

Ufuk Barat Rembang Petang di Peninjauan

http://sastrombudeg.blogspot.com
















hasil 'klik' annisa gustiasti arumsadu (13 desember 2010) diedit seperlunya

Inspirasi dari Batang Kelapa untuk Indonesia

http://sastrombudeg.blogspot.com

kita hanya terbiasa melihat, mengagumi, dan menghargai sesuatu hanya karena kebesarannya, karena ketinggiannya, karena keindahannya, dan karena kegagahannya.

kita sering lupa menengok ke bawah, ke belakang, dan apa yang tersembunyi di balik itu semua ....

tak terlihat dan tak terasakah bahwa ada jutaan bahkan miliaran akar-akar halus yang dengan tulus memberikan pengorbanan, bahu-membahu menyuplai nutrisi untuk menyangga kegagahan itu.

pun ketika si gagah itu tumbang, para akar turut tercerabut dan mati, setia untuk si gagah yang tak gagah lagi itu. yang tertinggal di dalam tanah demikian pula adanya. layu dan kering, busuk menjadi tanah kembali.
tidakkah anda menangis ketika menyadarinya?

mungkin karena negeri ini bernama indonesia ....


Aubade Bunga Gugur

http://sastrombudeg.blogspot.com

Terseru Janji

http://sastrombudeg.blogspot.com

Perjamuan Kelam

http://sastrombudeg.blogspot.com

Diam Seorang Penyair

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 8 December 2010

Mengapa Pentas Wayang lalu Menjadi Sarkas?

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wayang sebagai bagian seni pentas, baik itu wayang orang, kulit, ataupun golek, yang dalam perkisahannya identik dengan fragmen-fragmen Ramayana dan Mahabarata, dari waktu ke waktu berada dalam rel dinamika penyikapan terhadap lingkungan dan budaya yang men’zamani’nya.

Kiranya salah besar apabila kemudian terjadi polemik tentang pergeseran nilai-nilai kewayangan, sebagaimana pernah terjadi pada dekade delapan puluhan sampai sembilan puluhan. Para budayawan Jawa (dari berbagai kalangan) gagal mencapai kesimpulan dan membuat formula bagaimana cara ‘mengunci’ wayang di dalam satu kotak pandora bernama “pakem’. Bagaimana seni pewayangan menjadi benda pusaka suci yang tidak boleh disentuh oleh peradaban selanjutnya. Wayang harus ‘seolah-olah’ menjadi saksi bisu suatu ‘kemandegan’ proses berbudaya suatu bangsa.

Saat itulah, dalang-dalang, para sinden, dan niyaga dituntut berperan sebagai mayat-mayat yang bangkit dari kubur: anyir, kaku, bisu, dan pucat. Dan penontonnya pun dapat dipastikan hanyalah orang-orang yang bernyali untuk duduk bersila di atas tikar penonton di balik 'geber' (layar) sampai kokok ayam jantan di subuh buta menyadarkannya.

Untung, masyarakat pecinta dan pelaku dalam pentas-pentas wayang jalan terus dan tidak perduli dengan kertas kerja-kertas kerja mereka. Masyarakat yang terintegrasi dalam kehidupan dan penghidupan di dalam pentas-pentas wayang tidak 'mood' dengan idiom-idiom pewayangan hasil rekayasa para pengamat atau budayawan.

Salah satu pemicu ‘kegelisahan’ para budayawan saat itu adalah Ki Nartosabdo. Dalang yang besar di Semarang itu pada tahun tujuh puluh-delapan puluhan mengemas wayang menjadi ‘pakeliran padhet’. Pementasannya tak lebih dari lima-enam jam, beda dengan wayang sebelumnya yang bisa mencapai dua belas jam! Lebih ekstrim lagi, bekas muridnya, Ki Manteb Soedarsono, yang bahkan bisa (baca: berani) melakukan pentas hanya untuk waktu tayang dalam hitungan di bawah satu jam saja!

Sesungguhnya, yang terjadi kala itu hanyalah ekspresi rasa kekhawatiran terhadap pergeseran nilai-nilai orisinalitas wayang. Ada yang ‘dipaksakan’ untuk dilupakan bahwa wayang mempunyai sejarah kreatif dan berasal dari suatu proses yang membutuhkan kurun waktu hingga terbentuk menjadi seperti sekarang ini.

Ada kehendak sebagian budayawan untuk membakukan (mem’pakem’kan) wayang. Mereka lupa bahwa kondisi kita saat ini seringkali tidak pas untuk menjadi penonton wayang model baku dan ‘orisinal’ seperti yang mereka inginkan. Mereka sengaja mencoba dan berusaha memuntir fakta sejarah bahwa awal sebuah wayang adalah juga bukan bersumber pada sebuah orisinalitas. Karena sebagian komponen di dalamnya terdapat barang impor dari India (kisah Ramayana dan Mahabarata), yang bahkan juga tidak pernah dipersoalkan oleh masyarakat Hindu India sebagai sebuah ‘pembajakan’.

Dari situ, maka sebagai langkah ‘damai’ antara pihak yang propakem (idealis) dan pihak pelaku seni pewayangan propasar (realistis), dibuatlah bermacam-macam karakter pementasan wayang; wayang klasik, wayang pop, wayang popndut, dan sebagainya. Semua tinggal mana selera kita.

Kritik Sosial pada Pementasan Wayang

Seperti halnya pada seni sastra, seni rupa, seni musik, dan seni pertunjukan lainnya, wayang secara terus-menerus juga melahirkan kreativitas baru dan dinamis sebagai bentuk penyikapan terhadap laju peradaban manusia. Seni tidak bisa lepas dari peradaban manusia. Peradaban manusia tidak bisa lepas dari seni.

Kritik-kritik sosial dan ‘pemberontakan’ terhadap suatu keadaan tertentu yang mengganggu nurani humaniora seringkali lahir dan diungkapkan melalui seni. Wayang dengan bijaksana telah meletakkan ruang ‘mimbar rakyat’ dalam ‘pakem’ pementasannya melalui Punakawan dan Limbuk yang eksis di sesi ‘Goro-goro’ . Sebuah sesi yang selama ini dianggap sebagai sesi yang tidak penting dan hanya menjadi embel-embel pencegah kantuk. Biasanya muncul setelah jam dua belas malam.

‘Mimbar rakyat’ tersebut pada tengah dekade sembilan puluhan telah digarap lebih ‘berani’ dan diberdayakan oleh para dalang senior yang telah sampai pada puncak ‘kekesalan’ terhadap perilaku rezim Orde Baru. Pemberdayaan sesi ini pada kenyataannya seringkali justru ditunggu para penikmatnya, lebih nge’pop’ mengalahkan jalan cerita utama.

‘Mimbar rakyat’ tak melulu ‘guyon maton’ (asal humor), tapi digarap sebagai arena melontar kritikan. Bahwa seni pewayangan ber’roh’kan ajaran dari kitab Ramayana dan Mahabarata dan notabene berisi tuntunan hidup (hitam-putih, baik-buruk, jujur-bohong, adil-curang, dan lain sebagainya), ternyata dianggap tidak mempan lagi sebagai suluh pengembali nurani kebenaran dan keadilan yang di belakangnya berlaku ‘karma hasil perbuatan’.

‘Mimbar bebas’ ala wayang telah menjadi ruang untuk memuntahkan ‘kemarahan moral’ sang dalang. Dikemas dalam bahasa ‘rakyat’ dalam suasana ‘rakyat’ pula. Jiwa rakyat diserapnya, dihayatinya, direfleksikannya, dan diletupkan sedemikian rupa dalam bahasa kritik yang sungguh me’nyudra’. Tak heran bila di mana-mana menuai aplus dan ‘ger’ dari segala lapisan masyarakat penikmat wayang. Para pejabat pada saat itu pun juga turut hanyut dalam arus ger-geran, tak sadar bahwa mereka juga menjadi salah satu sasaran tembaknya.

Menjelang Reformasi 1998 dan sesudahnya, adalah Ki Manteb Soedarsono, sebagai salah satu motor gerakan ‘mimbar bebas’ ala wayang. Lugas, cerdas, dan sarkas. Tentang ini, penulis yang berada di daerah transmigrasi saat itu, memonitor pentas-pentas Ki Manteb Soedarsono melalui  RRI Pusat Jakarta yang tiap malam Minggu menyiarkan secara live pentas wayang kulit diselang-seling dengan wayang golek.

Telah lazim bahwa pentas wayang sebelum genre Ki Nartosabdo merupakan pengabdi kesantunan tutur tradisi Jawa yang penuh perlambang dan pesan-pesan luhur. Wayang sebagai media komunikasi yang berisi tuntunan penuh filosofi Jawa relatif terjaga. Namun di tangan Ki Manteb Sudarsono, monotonitas seperti di atas serta merta bisa raib dan berubah menjadi dramatis, sarkas, ‘nyelekit’, dan ekspresif (dari sebuah sumber, dramatika pewayangan menjadi roh yang memikat semenjak Ki Nartosabdo memperoleh pembelajaran dari dalang Ki Wignyo Sutarno).

Wayang adalah wayang. Dalang tetaplah pengendalinya. Idealisme lakon seakan-akan menjadi hak mutlak sang dalang, di luar standar minimal agar sebuah wayang kulit tetap disebut pementasan wayang kulit. Sudah barang tentu.

Penulis bukanlah orang yang paham dengan dunia wayang. Maka mohon dimaafkan bila terdapat kekeliruan dalam penganalisaan sejarah wayang. Penulis tergoda untuk menulis ini, karena setahu penulis, bahasa tuntunan dalam pementasan wayang ‘klasik’ cenderung halus dan terjaga kesopanannya, yang pada awal-awal Reformasi 1998 hingga sekarang terasa berubah menjadi ‘binal’ dan ‘liar’.

Mungkinkah zaman yang menghendaki demikian?

Para pemimpin, pemegang otoritas politik, hukum, ekonomi, pendidikan, serta agama seakan ‘budeg’ dan ‘ndableg’. Atau bahkan ‘menantang’! Pendek kata, dengan tuntunan halus (sindiran) ala wayang ‘klasik’ sudah tidak mempan. Maka sarkasme sang dalang genre sekarang agaknya tak bisa disalahkan.

Bila itu juga tidak mempan?

(kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini akan diperbaiki bila waktu telah memungkinkan)

Sunday 5 December 2010

Belajar Kedisiplinan pada Seorang Penjual Roti Bakar


http://sastrombudeg.blogspot.com

Dua minggu yang lalu saya ikut kawan pergi ke kota dengan menumpang mobilnya. Saya hendak mencari travo baru untuk mengganti travo mesin fotokopi kami yang terbakar (sudah tiga kali ganti dalam enam bulan terakhir-mungkin karena dari PLN voltagenya terlalu rendah (160 V) dan tidak stabil). Sementara kawan saya bermaksud membeli bensin untuk dijual kembali di kiosnya. Tiga jerigen kapasitas 40 liter teronggok di kabin bagian belakang APV-nya. Sudah tiga minggu ini bensin langka di daerah kami.


Saya telah mendapatkan travo dari tukang servis fotokopi kami. Si kawan tidak berhasil mendapatkan bensin di SPBU. Tidak punya surat izin!

Hari telah senja ketika kami sepakat pulang. Saat di depan mini swalayan, mobil menepi dan berhenti di seberangnya. “Cari oleh-oleh untuk Rico!”,  ujarnya menyebut nama anak kesayangannya sambil membuka pintu mobil. Saya pun menurut.

Saya membuntut saja, sebuah gerobak bertuliskan "Roti Bakar Bandung" menjadi tujuannya. Segera ia memesan sesuai selera. Saya juga. Kami menunggu pesanan sambil duduk di bangku panjang yang disediakan.

Dalam 'masa tunggu' itu, saya berada dalam kegelisahan yang amat sangat. Saya kagum kepada si anak muda penjual roti bakar itu. Dengan sangat cekatan, runtut, dan tertib, dia melakukan aksi ritual 'pembakaran roti'.

Di mulai dengan mengambil roti tawar, buka belahan roti, oles bahan isian sesuai pesanan, bakar, colak-colek dan bolak balik di pemanas (sembari membakar roti, ia lakukan pekerjaan sesuai urutan pertama untuk pesanan berikutnya), angkat, letakkan tepat di tumpukan kertas pembungkus, potong-potong, bungkus, ikat karet. Selesai. Lanjutkan roti berikutnya.

Begitu seterusnya.

Tak terasa, saya keasyikan melihat cara kerja si anak muda itu. Semua kebutuhan bahan dan alat produksi disusun sedemikian rupa sesuai urutan proses produksinya, jangkauan tangan terukur serta imbang dengan kerja pengawasan menggunakan mata. Saya menyadari, ini adalah suatu proses produksi yang sangat sederhana. Sangat sederhana. Tak bolehkah diapresiasi sebagai contoh bagi saya bahwa begitu penting arti kedisiplinan dalam suatu pekerjaan? Pekerjaan apa saja.

Begitu seterusnya.

Saya lalu teringat dengan proses pelayanan dan produksi pada kios tempat penjualan alat tulis kantor dan fotokopi milik kami yang dikelola istri. Semua serba semrawut.

Semrawut.
Begitu seterusnya ….

Bukan cuma sekali-dua kami berdebat tentang arti efisiensi dan efektivitas pada suatu proses produksi. Bagaimana cara meringankan kerja tangan dan mata atau anggota tubuh yang lain dalam suatu proses pekerjaan, bagaimana dalam waktu yang sama bisa menyelesaikan dua atau tiga pekerjaan sekaligus tanpa kerepotan, ngos-ngosan, dan 'gedubrakan', misalnya.

Pernah suatu kali, seseorang bermaksud melaminasi selembar ijazah SD-nya, yang karena suatu keperluan, barang itu ditinggal dulu dan akan diambil keesokan harinya. Apa lacur? Pagi harinya, ketika orang tersebut datang hendak mengambil orderannya, barang dokumen berharga itu tak berhasil kami temukan!

Laci-laci, tumpukan kardus, kertas-kertas dalam kantong sampah dibongkar lagi. Tidak ketemu! Pokoknya wang-wing-wung kardus dan kertas bekas dilempar sana-sini. Untung, uang di dalam laci tidak turut kami hambur-hamburkan.

Mulailah saling tuding dan saling menyalahkan. Muka istri saya dan 'pegawai'nya (seperti toko besar saja) terlihat pucat pasi. Kami stres berat. Untung (untung lagi) si tuan ijazah tidak menunjukkan kemarahannya. Dia sabar dan memaklumi (siapa tahu isi hatinya?).

Akhirnya si tuan ijazah itu pulang dengan tangan hampa. Kami berjanji bertanggung jawab menggantinya dengan ijazah pengganti bila masih tidak diketemukan.

Dua hari-tiga hari lewat. Ijazah itu tak tahu rimbanya. Itu artinya kami harus bersiap menanggung pengurusan ijazah pengganti yang konon harus mengikuti proses birokrasi yang cukup rumit. Mulai dari lapor ke polisi ... hingga mengurus sampai dinas pendidikan provinsi. Serasa byar-pet mata saya. Marah dan marah yang ada. Saya memang menyerahkan pengelolaan usaha itu kepada istri sembilan puluh persen. Saya sendiri ada usaha lain ….

Pada hari keempat kehilangan ijazah, pagi-pagi muncul seseorang tak dikenal dan mengulurkan  selembar ijazah yang diambil dari dalam tasnya. Itu dia yang kami cari! Ijazah SD tersebut terbawa olehnya saat melaminasi kartu keluarga! Wuah. Lega rasanya.

Kembali ke penjual  roti bakar. Bisa dibayangkan apabila si penjual tidak berdisiplin dalam menjalankan usahanya tersebut. Penempatan karet gelang (sekedar karet pembungkus!) di letakkan tepat di depan jidat. Pisau pengerat roti terletak di laci atas di samping paku penempat karet gelang tadi. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Itu adalah bagian dari pelayanan konsumen agar efisien dan cepat. Kadang kala para pelanggan bisa saja menumpuk antri. Sangat sulit dibayangkan bila penjepit roti 'pengentas' dari pemanas hilang atau ketlingsut terbawa oleh pembeli yang usai bayar langsung kabur! Atau menunjukkan ‘ketidakprofesionalan’ dengan berkata “Aduh, di mana ya soled saya taruh tadi?” atau “Maaf  Bu, Ibu lihat tumpukan karet di situ tidak?”

Ya, sekali-lagi sederhana. Sederhana sekali. Tapi awal dari kedisiplinannya, pastilah ada orang yang telah memikirkannya sebelum dia, bagaimana cara melakukan pekerjaan dengan nyaman, efisien, dan menyenangkan dan enak ditonton.

Sungguh suatu kebrilianan kecil yang tak terpikirkan oleh saya. Sebelumnya.

Saturday 20 November 2010

Aksi Perduli Korban Bencana Alam oleh OSIS SMAN 7 OKU


Tepat pukul 10.20 WIB, Jumat, 19 Nopember 2010, bertempat di Bank Sumselbabel  Cabang Baturaja Kantor Kas Peninjauan, Jalan Pasar Minggu Peninjauan Kecamatan Peninjauan Kab. OKU Provinsi Sumatera Selatan, telah dilakukan pengiriman (transfer) uang sebesar Rp 10.026.000,00 (sepuluh juta dua puluh enam ribu rupiah).ke rekening 0206-01-003277-30-1 BRI Sudirman Jakarta Pusat atas nama Global TV Peduli.

Uang tersebut di atas berhasil dihimpun oleh OSIS SMAN 7 OKU melalui relawan PMR, Pramuka, serta Rohis, dan berasal dari keluarga besar SMA Negeri 7 OKU ditambah sumbangan dari sebagian anggota masyarakat Kecamatan Peninjauan, untuk disalurkan kepada para korban bencana alam yang terjadi di beberapa bagian wilayah tanah air.


(ket. gambar: saat penghitungan uang 
sumbangan di SMAN 7 OKU)



Dalam pada itu, Ketua OSIS Ahmad Shoim didampingi pembina OSIS SMAN 7 OKU, Febri Anthoni, S.Pd., mengatakan bahwa aksi door to door penggalangan dana masyarakat yang  melibatkan para pemuda dan remaja masjid di desa-desa tersebut, dimaksudkan sebagai  upaya ‘jemput bola’ atas niat anggota masyarakat menyisihkan sebagian rezekinya untuk disumbangkan bagi para saudaranya yang terkena musibah tetapi tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya.

Selanjutnya Ahmad Shoim berharap agar aksi yang telah dilakukan tersebut dapat dijadikan momentum untuk pembentukan satgas bencana alam di tingkat sekolah, desa, dan Kecamatan Peninjauan, sehingga niat tulus anggota masyarakat dalam Kecamatan Peninjauan dan sekitarnya untuk membantu sesama yang tengah dilanda kesusahan dapat disambut dan diakomodir secara cepat, tepat, dan amanah.

 




(ket. gambar: acara serah-terima sumbangan dilakukan secara singkat dan simbolis. Relawan diwakili Ketua OSIS SMAN 7 OKU dan pihak bank oleh salah seorang petugasnya, Heri)









Catatan: Tindakan pemuatan tulisan ini  mohon tidak ditanggapi sebagai sesuatu yang ’riya’. Dilakukan semata untuk lebih memotivasi segenap anak bangsa  dalam mengasah  keperduliannya terhadap kehidupan berbangsa.
http://sastrombudeg.blogspot.com

Sunday 14 November 2010

Sampai Kapan Lanting Bertahan ...


http://sastrombudeg.blogspot.com

Adalah 'Jaka Tingkir' ala Suku Ogan.
Bila Jaka Tingkir 'Jawa' menjadikan bambu untuk menyeberang sungai/rawa sebagai 'gethek', maka 'Jaka Tingkir' Ogan ini menaikinya selama lebih kurang tujuh hari tujuh malam lalu ... menjualnya di kota!



Mereka menyusun rangkaian 'gethek komersial' (dikenal sebagai 'Lanting') ini di  daerah sekeliling Baturaja. Setelah siap, dengan perbekalan seadanya saja (tenda plastik, tikar, lampu minyak/obor, beras, dan alat masak sederhana) berangkatlah pelayaran tanpa layar mereka. Mereka tidak begitu pusing dengan lauk-pauk, karena Sungai Ogan telah menyediakan ikan yang berlimpah.

Dibawa ke mana bambu-bambu ini?
Setelah menyusuri Sungai Ogan selama lebih kurang satu minggu (tergantung arus air) dari Baturaja (hulu), sampailah 'gethek-gethek' ini di (hilir) Kota Palembang ( 'Muara Ogan'-pertemuan dengan Sungai Musi). Di sini 'gethek' dijual kepada para pengumpul atau langsung kepada konsumen. Biasanya bambu-bambu ini digunakan sebagai bahan pendukung/penopang /tangga saat pembangunan gedung-gedung tinggi.

Catatan: Sungai Ogan melintasi empat wilayah kabupaten/kota, yakni Muara Enim, OKU, OI, dan Kota Palembang. Panjang?

Friday 12 November 2010

Engkau Tahu Aku Saksikan!



















foto model ilustrasi ini anak berusia 3.5 tahun bernama dimas (berdarah ogan-bali), anak tetangga dan telah disetujui oleh orangtuanya.
http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 15 September 2010

Jadi Guru di Pedalaman Papua

http://sastrombudeg.blogspot.com
ilustrasi: foto Gunung Bromo, Kasada 18 Desember 1986, penulis kanan paling belakang. (Tim Pasmanega I)






Semasa SMP dan SMA, bersama seorang kawan (Burhanudin) saya gemar jalan-jalan keliling daerah dengan menumpang kendaran tanpa bayar (truk, kereta barang) dan jalan kaki. Pada SMP kelas III liburan semester lima (Desember 1984), bersama kawan tersebut berangkatlah kami dari Ambarawa ke Jakarta. Kami telah sampai di puncak Monas, Taman Mini Indonesia Indah, dll.  Betapa bangga kami saat itu. Kenapa? karena kami hanya dengan sekadar membawa ongkos beli nasi putih di jalan (lauk abon sapi bawa dari rumah) bisa menempuh perjalanan sejauh itu di seusia itu. Perjalanan itu kami abadikan dengan foto-foto bersama dan saya buat catatan-catatan perjalanan dalam buku lusuh, lengkap dengan isian jam dan tanggal.

Pada tahun 1986 (SMA) kami kembali melakukan perjalanan ke Pulau Dewata. Kami sempat mengunjungi Danau Batur (Trunyan), Istana Tampak Siring, Goa Gajah, Ubud, Sanur, Kuta, dan Museum Bali.

Dari situ, karena begitu kagum dan bangga sebagai anak Indonesia, saya pernah bercita-cita melanjutkan perjalanan sampai tanah Papua (Irian Jaya saat itu). Entah tanpa bermaksud apa-apa, saya dari jauh merasa dekat dengan tanah tersebut. Saya merasa cinta dengan Bumi Cenderawasih. Begitu ingin saya masuk ke pedalaman paling terpencil sekalipun. Saya hanya ingin saling berbagi ilmu dengan saudara-saudara saya di sana. Saya ingin menjadi guru di sana ....

Walau kenyataan berkata lain. Akhirnya perjalanan hidup saya terdampar di tanah subur di tepian alur Sungai Ogan (Peninjauan-Baturaja-OKU-Sumatera Selatan). Di tanah ini pun saya jatuh cinta dengan alam dan budayanya. Saya hanya ingin selain hidup di tanah tepian Ogan ini, juga ingin berguna bagi tanah yang telah turut menghidupi saya beserta anak-istri.

Akhirnya dalam uraian singkat ini, saya menjadi semakin sadar bahwa saya cinta negeri indah ini, saya cinta nasionalisme Indonesia dengan sepenuh hati. Sakit di Aceh, Papua, adalah sakit saya.

Saya manusia yang terlahir dalam suku Jawa, tapi koleksi lagu-lagu dalam komputer saya adalah lagu-lagu Batak, Minang, Papua, Sunda, dan Sumatera Selatan. Meskipun banyak yang saya tak tahu artinya, tapi itu seakan mampu menghayatinya dan serasa terbang ke di mana lagu itu berasal.

Ketulusan bernasionalisme dalam Indonesia Raya-ku tak ada hubungan dengan kepentingan ekonomi. Aku bangga punya Saudara Papua, Saudara Aceh, Saudara Ogan, Saudara Komering, Minang, Batak, Dayak (saya pernah tinggal bersama kawan Dayak, Bugis, Lombok, dan Banjar di Kampung Baru - Tepian Sungai Kelian Tambang Emas PT KEM Kutai Kalimantan Timur-1988). Juga sudah barang tentu suku-suku lainnya.