ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Friday 13 April 2018

'Dagang Sapi' antara Gerindra dan PKS?


Ketika Gerindra dan PKS menerapkan politik dagang kambingnya serta mengabaikan suara rakyat yang anti jokowi 2 periode, kemungkinan besar #2019gantipresiden tidak akan terwujud. Saya berharap, Gerindra dan PKS tidak 'nggege mangsa' dan terlalu percaya diri dengan mengedepankan ego kepartaian masing-masing.

Oleh sebab apa saya menulis ini? Apa dasarnya?

1. Prabowo sudah berjiwa satria dan secara implisit maupun eksplisit telah membuka diri, siap sebagai calon maupun siap sebagai 'King Maker'. Artinya, kader Gerindra harus mawas diri, bijak membuat pilihan, serta berani berjiwa besar untuk mengesampingkan pencalonan Prabowo. Jujur saya katakan, Prabowo sampai detik ini masih memiliki 'lubang fitnah' yang rentan untuk dibombardir oleh lawan-lawan politiknya. Peluang yang lebih besar akan muncul bila Prabowo berdiri sebagai 'King Maker' bagi misalnya, Gatot Nurmantyo, atau yang lain dalam tataran sama.

2. Demikian juga PKS, jujurlah kepada diri sendiri bahwa kader kalian bukanlah kader yang mempunyai daya tawar tinggi ke rakyat nasionalis (bahkan tidak juga untuk sebagian besar yang berhaluan agamis). Kader kalian hanya sebatas 'disukai' oleh orang-orang di dalam tubuh partai kalian sendiri.

3. Karena sebagian besar pemilih bukanlah kader / simpatisan partai, tetapi para rakyat yang hanya ingin #2019gantipresiden.

4. Kapabilitas antara capres dan cawapres harus seimbang / selevel. Wapres bukanlah sekadar pendamping presiden. Mengapa? Karena kontestasi yang akan terjadi adalah kontestasi mencari putra terbaik bangsa dari yang terbaik, bukan ajang yang memaksa rakyat untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden dari sekumpulan anak bangsa yang 'terbaik dari yang terjelek' hasil olahan (filterisasi) partai politik-partai politik bermental blantik.

5. Penonjolan ego kepartaian pada koalisi ini akan mengakibatkan kemunculan poros tengah yang belum tentu menguntungkan Gerindra dan PKS, bahkan dapat menimbulkan keterpecahan suara 'oposan' serta bermuara pada kekalahan yang telak dan menyakitkan. Berdialog dengan rakyat yang bukan sebagai kader/simpatisan partai merupakan salah satu langkah bijak.

6. Berbeda dengan pemilu terdahulu, saat ini rakyat pro #2019gantipresiden sedang mencari partai politik yang bisa menjadi perahu pengusung aspirasinya, jangan terbalik! Partai politik harus berlapang dada untuk keluar dari pusaran watak hegemonitas demokrasinya (politiknya)! Ingat, partai politik ada karena tuntutan praktis dari faham demokrasi yang kita anut. Tidak lebih tidak kurang!


http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 7 April 2018

Hoax Petruk

coba ingat kembali, sebelum pemilihan raja tempo tahun, di sekeliling kita berseliweran berita / kabar dari mulut ke mulut bahwa kalau petruk menang jadi raja, harga balam/karet akan naik. sudah barang tentu, karena berita ‘baik’ itu, para pekebun karet yang saat itu sedang ‘sekarat’ akibat harga karet yang terpuruk tajam menjadi terpesona dan terhipnotis serta berusaha mempercayainya (karena di situlah titik harap mereka).

apakah tiga tahun berlalu setelah itu (sekarang ini), harga karet sudah sesuai harapan seperti yang didesas-desuskan dengan kencang pada saat itu? ternyata belum bukan? karena informasi yang benar adalah naik-turun harga karet memang berada di kekuasaan pasar dunia, bukan karena kekuasaan si petruk!

jaringan tim sukses memang kadangkala ‘sangat kejam dan tidak bertanggung jawab’ dalam melakukan aksi-aksi kampanye demi memenangkan sang jagoan. dari mana sumber kabar harga karet ‘pasti’ naik berasal?

pusat memberi breafing pemenangan, mesin partai mulai bergerak. legislatif pendukung dan segala macam jaringannya bergerak dengan membaca trend dan ‘kegelisahan’ di wilayah masing-masing. misal, di suatu wilayah pertanian, petani yang memiliki masalah dengan kelangkaan pupuk, maka jaringan ini mengolah sedemikian rupa sehingga terbentuk opini luas bahwa kalau petruk jadi raja, masalah ini pasti beres tertangani, lihatlah si petruk itu, karena keberpihakannya kepada rakyat kecil, rela bersusah-susah melenggang di pematang sawah untuk menampung aspirasi petani.

tentang pekebun karet, demikian juga adanya. barangkali sudah menjadi bagian dari jaringan pemenangan, saya ‘mensinyalir’ bahwa berita akan ada kenaikan harga karet bila petruk jadi raja, adalah bersumber dari ‘ring-ring’ pedagang besar (pabrik pres) yang ‘digetok-tularkan’ secara informal (saat ngobrol sambil ngopi bareng di warung dll.), baik melalui para tauke, sopir-sopir pengangkut getah dari petani ke pabrik, atau melalui siapapun yang berdekatan dengan ring itu. dari mereka, turunlah berita tersebut menyebar ke mana-mana, terutama sampai ke target utama (pekebun).

cara kerja demikian adalah cara kerja ‘kuno’ tapi masih ampuh/efektif untuk (maaf) memangsa pasar suara dari kalangan tertentu yang dilatarbelakangi oleh tingkat keperdulian politik serta kemauan bermain analisa informasi yang sangat rendah. dalam hal demikian, si partai pendukung petruk akan menina-bobokkan penikmatnya dengan mengeluarkan statement ‘rakyat yang cerdas adalah rakyat yang memilih petruk!’.

dengan modal hoax tersebut, si petruk saat ini nyaman nangkring di singgasananya dan berharap dapat menambah satu porsi jabatan lagi, menjadi dua periode!

itulah hoax yang sebenar-benar hoax!
http://sastrombudeg.blogspot.com

Dialog di Teras Istana antara Petruk dan Sengkuni

Sengkuni:
“Gimana, setelah tiga tahun berjalan? Enak to, Truk?“

Petruk:
“Iyaaaaaaa, huenak enan….huenak enan, heh...heh...heh...heh...heh…!“ (tawa khasnya terlepas, tak lupa bahunya terangkat-angkat)

Sengkuni:
“Mau maju lagi enggaaaaak?“

Petruk:
“Huenak enan….huenak enan!”
(senyum-senyum, sudut –sudut kamera – eh maksud saya, sudut-sudut matanya tak bisa menyembunyikan napsunya)

Sengkuni:
“E...kok malah cengar-cengir, mau enggaaaak…? Kalau nggak mau nanti kami kasih ke yang lain lhoooo…!“

Petruk:
“Eh jangaaaaan! Jangan! Tapiiii….., apa ya saya bisa jadi lagi?“

Sengkuni:
“Nah, aku tanya dulu, pintermu apa?“

Petruk:
“Mangsud Pakde Sengkuni?“ (sambil bertanya begitu, jari telunjuk kirinya mengibas seliwir rambutnya ke atas agar minggir dari jidat)

Sengkuni:
“Skillmu apa? Keahlianmu apa? Talentamu apa? Ente punya hobi andalan apa?“

Petruk:
“Oooh, bakat to? Kehebatan saya to? Wow, banyak! Ya, saya pinter kementhusan (banyak gaya sok tahu sok berani), pinter ngibul, terus apa lagi ya…., nah ini, saya juga ahli ndagel (melawak) heh...heh...heh...heh...heh…!“ (lagi-lagi tawa khasnya terlontar selontar-lontarnya hingga gusi atas yang kehitam-hitaman itu terekspos dengan sempurna, tak ketinggalan, pundak pungkringnya terguncang-guncang hebat seperti skubidu ketakutan melihat kain sprei putih terbang melayang-layang)

Sengkuni:
“O, dasar aslimu punakawan ya mau sampai di ujung Afganistan pun tetap punakawan! Tapi ya sudah, itu saja! Ndagellah sepuasmu sesuai improvisasimu. Tapi ingat! Kalau pidato kamu harus pakai teks lho ya, jangan seperti kemarin, karena blank, ditanya wartawan kamu malah a’u’a’u’…!“

Petruk:
“Lha tapi kan malah jadi ger-geran to? Ya ndak... ya...ndak..., heh...heh...heh...heh...heh…!”

Sengkuni:
“Husssst! Diam dulu!“

Petruk:
“Huenak enan….huenak enan!”
(tangan kanannya meraih handphone yang tergeletak di atas mejanya, diam-diam mengangkatnya tinggi, dan meringislah dia sambil memandang lensa kamera handphone, cekrek!)

Sengkuni:
“Hei...hei! Kalau sedang dibreafing itu diperhatikan! Jangan selfi melulu kau! Cemana pulak kau ini!" (ssssttttt!, akhirnya keluar juga logat asli si Sengkuni, tetapi dia masih berusaha sabar menghadapi segala tingkah polah boneka hidupnya itu)

Petruk:
“Oh, maaf ... maaf! Huenak enan….huenak enan!”

Sengkuni:
Nah, kita lanjutkan! Kalau kawulamu masih belum upgrade nalar politiknya, maksudku, mereka masih seperti yang dulu, menganggap memilih raja sama dengan mengikuti polling cari artis terfavorit di televisi, maka kamu pasti akan jadi lagi! Pasti jadi! Seluruh lini akses sangat kita kuasai. Pasti kamu jadi! Seterusnya, kalau kamu jadi lagi yaaaa … seperti biasalah, hal-hal yang berat menyangkut urusan kerajaan, serahkan semua kepada kami. Pasti beres. Yang penting, kamu bisa njagong duduk di singgasana, terus bisa blusukan untuk potong-potong pita peresmian proyek-proyek yang belum jadi itu, bagi-bagi sepeda, bagi-bagi sertifikat, latihan tinju, momong burung, miara cebong di kolam cethek dan buthek, lempar-lempar souvenir pakai tangan kiri dari dalam mobil, lempar-lempar sekop juga, semua tidak ada yang ngelarang! Pokoknye suka-suka ente dah....!"

Petruk manggut-manggut . Wajah polos dan lugunya menyemburatkan kesukacitaan. Sempat terlintas dalam pikirannya, kalau saja tahu dari dulu bahwa jadi raja itu gampang dan enak seenak kayak gini, sejak ceprot keluar dari rahim bunda pun aku sudah mau dijadikan raja…! Huenak enan….huenak enan!


http://sastrombudeg.blogspot.com

Antara Konde, Kebaya, dan Cadar

Karena konde, saya jadi teringat pada sebuah status seorang kawan FB di akunnya (seorang pegiat budaya, selebihnya off the record) yang dibuat pada beberapa tahun yang lalu. Aksentuasi dan emosinya, secara implisit maupun eksplisit, menurut saya mengandung pesan yang sama (suatu kebencian yang berusaha ditutup-tutupi), membandingkan sesuatu hal menyangkut sebuah keyakinan spiritualitas (lebih merujuk ke Agama Islam) dengan sebuah produk budaya.

Kalau si emak membandingkan cadar dengan konde, nah, si kawan itu membandingkannya (cadar) dengan kebaya. 

Si kawan lupa bahwa pada keyakinan yang dianutnya (sudah barang tentu di luar Islam), wanita-wanita pelayan rohaninya juga mengenakan pakaian mirip jilbab yang notabene merupakan uniform khas mereka dan itu berasal dari luar Nusantara.

Pun, pada kenyataannya, klaim bahwa konde dan kebaya sebagai sebuah kekhasan (asli?) produk budaya Nusantara sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli.

Budaya sebagai hasil olah budi dan daya manusia, sesunggguhnya tidaklah se-ekslusif yang kita kira (paling tidak oleh saya!). Itu lebih dikarenakan sifatnya. Budaya (kebudayaan) memiliki sifat lentur dan dinamis, sehingga tidak bisa lepas dari unsur keterpengaruhan, baik dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar geografisnya, maupun dipengaruhi oleh unsur fungsi (kebutuhan) serta selera (perubahan nalar) menurut zamannya. Di dalamnya, bisa saja terdapat unsur fungsi dan nalar spiritualitas!

Kebudayaan merupakan produk dari berbagai macam bentuk interaksi dan sebagai salah satu imbas dari lalu lintas pergerakan manusia dengan berbagai macam latar belakangnya. Kebudayaan senantiasa bergerak mencari bentuknya sendiri dalam setiap waktunya.

"Tidak ada yang orisinal (autentik) dalam karya seni dan budaya, sebab orisinalitas hanya milik Tuhan Sang Pencipta!", demikian lebih kurang dikatakan oleh Ikranegara (Suara Merdeka, 17 April 1994)

http://sastrombudeg.blogspot.com