ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu
Showing posts with label artikel bebas. Show all posts
Showing posts with label artikel bebas. Show all posts

Saturday 10 October 2015

Dicari: Martir-Martir Revolusi Rakyat Semesta Indonesia Raya!

sadarkah kita bahwa kita saat ini tengah di ambang 'revolusi' yang paling berat dalam sejarah kebangsaan kita semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945. kita saat ini berada pada hiruk-pikuk yang membutuhkan pengawalan ekstra dari semesta rakyat indonesia raya untuk mengamankan 'revolusi moralitas' bangsa indonesia. 

jargon 'reformasi' saat ini ternyata sudah tidak laku dijual dalam kehidupan berbangsa. terlalu singkat sungguh! apabila hanya dalam kurun waktu tak lebih dari 12 tahun, jiwa-jiwa bermental korup telah bangkit lagi, dan bahkan terang-terangan unjuk kebobrokan moralitas dari ketiarapannya.

jiwa-jiwa koruptor itu, mungkin saja ada dan bersarang dalam diri kita sendiri! mungkin saja akibat kita terjebak dalam area dan aura mafia. mafia hukum, mafia ekonomi, mafia agama, dan bahkan mafia dunia pendidikan! dua terakhir adalah palang terakhir pula bagi laju jiwa-jiwa koruptor dan manipulator dalam diri 'kita'. 

untuk itu, marilah kita rombak paradigma dan mitos sempit yang membelenggu alam pikir kita bahwa korupsi seolah-olah telah menjadi budaya dan hanyalah sebuah utopia belaka untuk menghapusnya!

korupsi ternyata memang sudah menjadi urat nadi eksekutor dalam segala bentuk penyelesaian semesta masalah-masalah kehidupan kita. termasuk urusan bisnis, keamanan, atau pun sekedar urusan mencari sesuap nasi, barangkali kita telah terkontaminasi dengan virus korupsi dan manipulasi, karena mungkin danau besar di atas awan bernama negara kesatuan republik indonesia telah teracuni. entah siapa menaburnya dan dari mana hulunya. 

korupsi bisa kita singkirkan hanya dengan cara merevolusi mental dan moralitas diri kita sendiri, ya, masing-masing kita! sekecil apa pun kita sekali pun. kita yang tinggal di kota, di pulau terluar, atau dalam profesi apa pun. (saya terbahak), bukan cuma berteriak-teriak di jalanan menjadi kepanjangtanganan politikus oportunis yang sudah bertanggal kadaluwarsa dan tak punya 'momongan'. 

jangan takut, beranilah berkata dan bertindak 'tidak berkorupsi' dalam lingkup kerja, pergaulan, atau dalam sel terkecil sekali pun.

tak perlu takut dan jatuh gengsi dicap sebagai pahlawan kesiangan! tak perlu merasa tersingkir dari jungkir-balik logika mereka (para promentalitas korupsi). 

selamat datang martir-martir 'revolusi moral semesta rakyat indonesia raya'.kebanggaan dan kejayaan kita bukan melulu tentang borobudur, tentang toba, tentang warok, dan eksotika pulau dewata, wayang, batik, atau komodo. kebanggaan dan kejayaan kita selanjutnya adalah tentang cita-cita, mimpi besar, dan menyatakannya! lalu berlanjut dengan mimpi-mimpi besar di langit indonesia raya lainnya, dan kita berbondong menyatakannya! inilah dinamika sebuah bangsa yang tak ingin tergilas 'saudara serumpun'nya! di saat bangsa-bangsa di belahan dunia sana tengah menikmati dan terus saja menuliskan kenyataan-kenyataan manis buah mimpi besarnya, dan terus saja mencipta mimpi-mimpi besar mereka yang baru, ....

ironisnya, .... 

kita saat ini justru tengah dalam kebingungan dan belajar kembali sekedar untuk mengerti tentang apa arti mimpi besar bagi sebuah bangsa! 'revolusi' ini tidak membutuhkan orang-orang politik yang hanya setia pada partai, 'selebritis bermuka agamis', orang-orang hukum yang hanya berdedikasi pada baju korps sendiri, yang hanya pandai bantah-membantah dan bermental oportunis, para pedagang yang bermental 'ngemis tender' dan berpat-gulipat angka-angka proyek! 

tak usah saling menyalahkan!

tak perlu pula kita tunjuk hidung 'gayus-gayus' atau yang lain! dari situlah kita ditonton oleh para duta besar negara asing sebagai opera kurcaci-kurcaci kerdil! revolusi ini adalah revolusi mental dan moral semesta rakyat indonesia raya! tak terkecuali! 

ini bukan melulu masalah pemerintah pusat. percuma, pemerintah pusat ngotot membentuk tim pemberantasan mafia-mafia virus bejat nan merugikan bangsa, apabila orang-orang di daerah cuma berani nonton dan ongkang-ongkang serta tidak berkomitmen terhadap denyut nadi pemberantasan korupsi bangsanya.

sadarkah kita bahwa kini daerah telah menjadi tempat berlindung paling aman bagi jejaring mafia-mafia tersebut di atas. saya ’sinyalir’ banyak ’orang pusat’ merasa lebih bebas dari sorotan dan ‘nyaman’ menyusun tahapan karier ke pusat-nya dengan dukungan suasana daerah dalam sikap keabu-abuannya terhadap korupsi dan manipulasi. 

tak ada oknum di sini. ini adalah kesalahan sistem yang ’menyemesta’!

untuk sementara, diam dululah pak politikus! ini bukan ranah politik aji mumpung .... 

diam dululah pak hukum! ini bukan wilayah pasal-pasal kalian …. 

diam dululah dari bicara yang melulu berdasarkan logika disiplin ilmu, pangkat, jabatan, profesi, dan strata pendidikan sendiri. 

ini adalah masalah dekadensi moralitas! (yang pernah ditulis seorang kawan sma saya pada tahun 80-an yang kenyataannya makin parah). dengan ppkn tidak mempan! dengan pendidikan agama justru ’tambah pintar dan berani’ korupsi! lalu harus dengan apa lagi? 

sekarang, yang kita butuhkan adalah jiwa-jiwa perwira bukan hasil didikan akademi atau sekolah tinggi. jiwa-jiwa perwira yang sanggup dan bersedia berebut di barisan paling depan untuk 'me-revolusi mental dan moralitas kita’! 

jiwa-jiwa perwira manusia pribumi dan keturunan yang secara sadar dan ikhlas me-revolusi mentalitas dan moralitas kebangsaindonesiaannya. bukan hanya mau mengeksploitir kekayaan sumber daya alam dan pasar besar bangsanya. 

selama ini, kita ternyata hanyalah sekumpulan manusia yang mencoba (bahkan tidak pernah mencoba) berteriak sebagai bangsa besar, tapi tak berdaya menggambar mimpi-mimpi besarnya, apalagi mewujudkannya! 

selamat datang martir semesta rakyat indonesia raya!'

revolusi mentalitas dan moralitas semesta rakyat indonesia raya bukanlah melulu tentang korupsi dan underbownya. tapi momentumnya dimulai dari sini. 

selamat datang perwira-perwira pertiwi!
 (2010)

http://sastrombudeg.blogspot.com

Tuesday 3 March 2015

Pesan untuk Pribumi

Saya hanya menulis pesan ini untuk kaum pribumi. Yang bukan pribumi tidak usah ikut campur!

Hanya untuk para pribumi anak – cucu yang kakek, nenek, ayah, dan ibu mereka turut berjuang nyata (tanpa rekayasa) menghadapi kolonial, berhati-hatilah kita terhadap propaganda terselubung dari para kaum oportunis. Janganlah kita terbawa arus untuk ber-save si a…save si u (save untuk orang per orang, bukan institusi). saya mencurigai di belakang si a atau si u ada banyak kepentingan memanfaatkan momen hiruk-pikuk akhir-akhir ini, memunculkan tokoh-tokoh heroik yang ujung-ujungnya meminta pengakuan lebih yang sesungguhnya merugikan kita turun-temurun dan sangat bertentangan dengan cita-cita bangsa yang telah ditebus dengan  cucuran keringat dan darah para pahlawan pendahulu kita.

Mereka membabi buta mendoktrinasi kebenaran ala mereka melalui segala cara (termasuk media sosial). Kita tidak boleh bingung dan terombang-ambing.

Kita harus berani berkata bahwa kita adalah pribumi asli (tanpa bermaksud rasis). Adalah hak kita untuk berteriak bahwa kita adalah pribumi asli yang sah dan berhak atas warisan kemerdekaan yang diperjuangkan leluhur kita. Tidak ada yang berhak menghalangi itu. Sebab, penghalangan dan penolakan terhadap pernyataan kepribumian kita adalah merupakan tindakan pengingkaran terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia1945 yang asli dan buah pikiran cemerlang founding fathers negeri ini.

Korupsi adalah musuh kita bersama dan benar harus kita habisi bersama pula. Tapi penyelesaiannya, tidak boleh melanggar undang-undang pula, terlebih memakai kata-kata sarkas yang seringkali juga digunakan oleh para kaum oportunis terhadap para jongosnya. Kata-kata sarkas yang dilontarkan oleh seorang pemimpin, tentulah tindakan tidak cerdas yang sangat merendahkan harkat-martabat orang lain, tidak negarawan, tidak memiliki sopan santun, tidak berbudaya, serta tidak ditolerir oleh agama apa pun.

Untuk para pribumi yang saat ini memegang tampuk kekuasaan saya berharap segera bertobat dan sadar. Bahwa tindakan-tindakan koruptif yang kalian lakukan, ternyata ada yang lebih berbahaya dari sekedar merugikan keuangan negara. Lebih dari itu, akibat kasus-kasus koruptif kalian, agaknya, akan dapat berkembang dan dijadikan pintu masuk oleh kaum oportunis untuk meraih dominasi mereka atas eksistensi ekonomi, sosial, serta politik ketatanegaraan kita.

Amandemen UUD 1945 Pasal 6 ayat 1, telah memberi ruang pembenaran atas propaganda para kaum oportunis ini. Seluruh lini kehidupan di NKRI ini lambat laun akan mereka kuasai. Kita akan terpinggirkan karenanya.

Selama berabad-abad di tanah air kita, mereka tidak pernah mengintrospeksi diri mereka sendiri  atas tindak-tanduknya dalam bersosial (berinteraksi), berpolitik, dan berekonomi di negeri ini. Selalu saja kita yang dianggap pemalas dan bodoh. Mereka tidak memurnikan diri dalam ketulusan bergaul dengan kita (walau tidak semua).

Filosofi para kaum oportunis ini, dari abad ke abad tidak pernah berubah dan surut. Uang dan uang! Sementara, kearifan lokal bangsa kita adalah bukan sekadar itu, kita menganggap dunia hanyalah tempat ujian untuk meraih kemenangan di alam keabadian kelak. Perbedaan filosofi ini, agaknya, sampai kiamat pun tidak akan pernah bertemu dan berdamai. Ini pun terjadi di hampir seluruh belahan dunia lainnya (baca sepak terjang mereka di negara lain, terutama Malaysia yang filosofinya segaris dengan kearifan lokal kita).

Kasus korupsi anggota DPR di mana pun adanya, adalah wilayah hukum, tidak perlu lari-lari ke ranah politik dukung-mendukung. Waspadalah. Saya tidak memprovokasi,  tapi mari kita tunggu dan cermati, jangan hanya ikut-ikutan tapi kurang dasar dan berakibat kehancuran kehidupan dan kemerdekaan anak cucu kita kelak.

Percayalah, ini murni lahir dari kekhawatiran saya pribadi dan hasil mencermati komentar-komentar para netizen yang saya duga adalah para kaum oportunis (kalaulah itu kaum pribumi, mereka merupakan korban penggiringan yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti secara utuh dan jernih atas sejarah perjalanan kenegaraan kita).
 
http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 19 July 2014

Menang-Kalah Berebut Amanah?

Saudara menang?
Allah mencatat dan menuntut Saudara untuk memenuhi janji-janji Saudara!
Janji-janji itu membayangi setiap langkah dan waktu Saudara untuk ditunaikan!
Jemputlah kemenangan Saudara sebagai menyambut ujian Allah!

Kemenangan hakiki adalah milik Allah!
Maka, suatu kemenangan yang diraih dengan keculasan, sesungguhnya merupakan suatu usaha perampasan atas hak Allah, dan itu hanya menjadi sia-sia belaka!

Lalu, untuk apa berbangga diri atas sebuah kemenangan, bila kemenangan itu sejatinya bukan milik Saudara dan terkandung di dalamnya beraneka hukum Allah yang harus Saudara patuhi dan jalankan!

Saudara kalah?
Allah membebaskan Saudara dari janji-janji Saudara!
Nikmatilah hari-hari damai seperti sediakala tanpa beban atas janji-janji yang telah terlanjur Saudara ucapkan!

Dan syukurilah hikmah sebuah kekalahan sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada Saudara!

Allah memberi dan tidak memberi (kemenangan itu) dengan suatu alasan yang jelas bagi-Nya dan menjadi rahasia-Nya.

Salam!
 

http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 12 July 2014

Beri Kesempatan Rakyat Menerima Presiden bukan Pilihannya!

Gonjang-ganjing pasca 9 Juli 2014 masih berlanjut. Klaim sepihak kedua kubu capres-cawapres berikut hasil hitung cepat (quick count ) maupun real count, bagi saya pribadi sudah sangat mengganggu. Ditambah lagi dengan tayangan media yang sangat-sangat ‘menggiring’ opini ke kubu tertentu sudah sangat terasa melecehkan bagi rakyat Indonesia yang berada di kubu seberang. Ini pemilihan presiden untuk “Kita” ataukah untuk “Anda”?

Dalam hal kalimat terakhir pada paragraf di atas. Sudah sepantasnya, kubu yang merasa menang, haruslah memberi kesempatan dan waktu kepada rakyat yang berseberangan kubu untuk perlahan menerima dengan ikhlas hasil pemilu capres-cawapres yang kelak (22 Juli 2014) diumumkan secara resmi oleh KPU selaku penyelenggara.

Rakyat harus diberi kesempatan dan waktu untuk berfikir dan membuang emosi sentimen ‘kekubuannya’ manakala telah muncul penentuan final hasil perhitungan itu. Terlebih, selisih suara kedua kubu hampir berimbang dan oleh karenanya agar bisa dibaca sebagai setengah rakyat memilih kubu A, dan setengahnya lagi memilih kubu B. Sehingga tidaklah santun dan terlalu arogan apabila klaim sepihak suatu kubu seolah-olah menjadi atas nama seluruh rakyat. Sebab, pastilah, pada kubu yang kalah akan tersimpan luka.

Oleh karena itu, merupakan tugas dari si kubu pemenang (kelak) harus pintar dan tulus (tidak terasa melecehkan) mengambil hati rakyat yang tidak dalam satu kubu dengannya. Masing-masing rakyat memiliki alasan kuat untuk memilih salah satu calon di antara kedua calon. Dan, biasanya pilihan yang diberikannya itu, lebih dekat dengan kebutuhan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Parameter-parameter orang Jawa di luar pulau Jawa dengan orang Jawa yang berada di dalam pulau Jawa mungkin berbeda. Kebutuhan seorang pemimpin negara bagi orang-orang di pulau-pulau terluar mungkin saja berbeda dengan orang-orang di dalam pulau Jawa.

Bagi rakyat yang berada di gugusan pulau-pulau terluar mungkin mengedepankan perbaikan infrastruktur dan keamanan wilayah. Sementara rakyat di pulau Jawa yang dengan infrastrukturnya relatif lebih baik, mungkin memilih seorang pemimpin negara yang dipandang lebih mengerti untuk urusan kompetisi di lapangan kerja.

Semuanya sah-sah saja. Akan tetapi, lebih baik lagi, apabila rakyat (termasuk saya!) diberi bekal rasa saling memahami problem-problem kewilayahan masing-masing, sehingga tidak terkesan dominasi suara suatu wilayah tertentu dan meng-kerdil-kan suara di wilayah lainnya. Suara rakyat ke-NKRI-an harus dikedepankan. Sayang, saya tidak melihatnya dalam pilpres kali ini. Yang terjadi, golongan tertentu seolah-olah hendak menerkam golongan lainnya. Dan parahnya, ini dipelihara oleh para elit politik maupun orang-per orang yang ‘merasa’ berkepentingan dengan keterpilihan calon presiden-wakil presidennya.

Tulisan ini tidak begitu runtut, akan tetapi ada pesan di dalamnya:

Berhenti saling hujat dan klaim kemenangan, siapapun yang mendahuluinya. Berpikirlah, bahwa hujatan-hujatan ‘Anda’ selaku salah satu rakyat Indonesia telah menyakiti hati salah satu atau bahkan jutaaan rakyat Indonesia lainnya yang tidak sepaham dengan ‘Anda’ tapi mereka memilih diam.

Beri kesempatan dan waktu dalam hari-hari ini, bagi pihak yang kemungkinan akan ‘kalah’ agar tetap mengakui dengan lapang dada kekalahannya, bahkan sebisanya malah akan turut merasa menang dan bahagia bersama ‘Anda’.

Salam.

http://sastrombudeg.blogspot.com

Monday 24 February 2014

Kebetulan yang Betul-Betul Betul (I)

Sama halnya dengan saya, hampir pasti Anda juga pernah mengalami suatu kejadian yang menurut Anda sendiri sebagai suatu kebetulan, kan?

Ceritanya begini.
Demi mewujudkan rencana  perjalanan ke Kalimantan, bersama seorang kawan, pada pertengahan bulan September tahun 1988, saya berangkat dari Ambarawa Jawa Tengah ke Surabaya untuk mencari kapal yang dapat mengantar kami ke tempat tujuan, Tarakan (Kalimantan Timur kala itu).

Setelah  lebih kurang enam jam perjalanan dari Ambarawa melalui Solo, pada dini hari  menjelang subuh, bus yang kami tumpangi pun tiba di kota Surabaya. Dengan tak banyak berpikir serta pertimbangan, kami langsung menelusuri jalanan di luar terminal bus sambil mencari-cari di mana ada kantor biro perjalanan.

Agaknya, di Surabaya ini, kami mendapat kesulitan untuk mendapatkan kapal dagang yang bersedia membawa kami berlayar ke tujuan pada hari itu juga.

Kami memang tidak berhasrat menggunakan kapal penumpang. Sebuah langkah penghematan, itulah yang kami kedepankan, selain, karena kami tidak mendapatkan informasi yang memadai perihal jadwal keberangkatan kapal penumpang ke Tarakan.

Di sebuah biro perjalanan, sang pengelola menganjurkan bahwa lebih baik kami menumpang pada sebuah kapal kayu yang hendak berlayar menuju Samarinda (kapal sudah ada dan hampir kelar menaikkan muatan), dengan skenario, sesampai di Samarinda nanti, kami dapat menyambung perjalanan ke Tarakan dengan menggunakan kapal lain.

Kami akhirnya setuju. Setelah melakukan pembayaran, saat itu juga, dengan bermotor bonceng tiga, kami diantar menuju pelabuhan (saya lupa, Tanjung Perak atau Kalimas).

Pada sebuah kapal kayu yang tak begitu besar bernama “Indo Jaya”, aktivitas menaikkan muatan sayur-mayur dan cobek dari batu telah mendekati akhir . Saat kami masuk ke dalam kapal tersebut (sudah barang tentu  dengan cara sembunyi-sembunyi menghindari syahbandar),  tampaklah oleh kami,  beberapa orang laki-laki dan perempuan tengah duduk-duduk di lantai kayu bercat biru laut dalam lorong kabin kru kapal. Kami pun masuk untuk bergabung bersama mereka.

Lengang. Kami, masing-masing  adalah penumpang gelap dan para pemilik dagangan yang hendak memasarkan barangnya di wilayah Samarinda dan sekitarnya.

Perlu diingat, bila kita melihat peta, jarak antara Surabaya ke Samarinda, ternyata hampir sama dengan jarak Samarinda ke Tarakan. 

Kelak kami baru tahu bahwa mencari kapal yang berangkat dari Samarinda ke Tarakan akan lebih sulit dibanding mencari kapal yang berangkat dari Surabaya langsung ke Tarakan. Sebab, pelabuhan Samarinda adalah sebuah pelabuhan kecil yang jauh masuk ke dalam  sungai Mahakam. Hampir tidak ada pelayaran dari Samarinda ke Tarakan. Di pelabuhan Balikpapan lah bisa ditemui banyak kapal yang memiliki rute ke sana, kapal penumpang maupun barang.

Tak berapa lama, terompet kapal berbunyi, tanda keberangkatan kapal dimulai.

Selepas beberapa mil dari pelabuhan, Nuansa ketegangan akibat takut ketahuan pihak otoritas pelabuhan tampak mulai luruh. Suasana telah berubah rileks. Sambil menghisap rokok masing-masing, saling tegur sapa dan basa basi mulai terjadi di antara kami.

Kepada mereka kami bercerita bahwa kami ke Samarinda hanya untuk transit dengan tujuan akhir ke Tarakan. Sang  bapak pedagang cobek bertanya, di mana alamat Tarakan-nya, kami menjawabnya di Palaran.

“Palaran-nya?”

“Kampung Kanas!” Hampir serempak kami menjawab lagi.

“Ah, kalau Kampung Kanas Palaran sih itu tempat tinggal saya, Itu di hilir Samarinda, bukan di Tarakan!” Ujar bapak tadi dengan nada ketus dan sinis.

Kaget kami mendengar ujaran bapak tadi. Serta merta, saya mengambil tas pakaian lalu membukanya. Saya ambil surat jalan kami dan membacanya secara cermat.

Eit!

Benar! Di situ tertera Kampung Kanas Kecamatan Palaran Kota Samarinda! Alangkah bodoh dan kurang telitinya kami.

Bila saja,  saat masih di Surabaya tadi, kami mendapatkan kapal ke Tarakan dan terlanjur ikut berlayar ke sana, tak tahu apa yang akan terjadi pada kami, paling tidak, untuk sementara waktu, kami pasti akan mengalami shock dan stres. Ini merupakan perjalanan antarpulau pertama yang kami lakukan.

Terima kasih ya Allah! Engkau-lah yang menuntun kami melalui skenario-Mu. Skenario kami tidak ada artinya.

Sama sekali.

(catatan: enam bulan setelah pelayaran tersebut di atas, dari koran yang saya baca kemudian, kapal “Indo Jaya” diberitakan tenggelam di Laut Jawa, sebagian kru kapal dinyatakan hilang)

http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 5 January 2013

Tidurkah Editor Bahasa (Indonesia) di Televisi Kita?


Dalam olah bahasa Indonesia, untuk orang seperti saya, yang pernah menjalani pendidikan di sekolah menengah pada dekade delapan puluhan, tentu masih ingat dengan popularitas J.S. Badudu dengan acaranya "Pembinaan Bahasa Indonesia" di TVRI.

J.S. Badudu sebagai ahli bahasa Indonesia, dalam pengantaran materinya, siapa pun pasti sepakat perihal kerincian, ketelitian, dan keketatan beliau dalam olah tata bahasa. Uraian dan analisa beliau terhadap suatu kata atau kalimat terasa enak dan mudah dicerna bagi orang awam peminat tata bahasa Indonesia seperti saya. Sebagai catatan, selain di acara TVRI itu, saya juga mengikuti pembinaan bahasa Indonesia yang dibawakan oleh beliau melalui majalah Intisari.

Berpijak pada pengalaman menikmati pembinaan bahasa ala J.S. Badudu, akhir-akhir ini saya merasa sangat gelisah dan kesal tiap kali menonton acara-acara televisi kita (mohon maaf,  saya sebut di sini, salah satunya adalah acara “Opera Van Java (OVJ)”) dengan intensitas yang tinggi, terdapat trend penggunaan ‘-nya’ sebagai kata ganti milik (orang ketiga tunggal) yang masih diikuti dengan penyebutan si ‘pemilik’.

Khusus untuk “OVJ”, saya menduga, itu terjadi karena terdapat kegagalan alih dan adaptasi bahasa dari model tontonan ‘kethoprak’ (yang didominasi oleh awak dan bahasa antaran berbasis bahasa Jawa) ke model tontonan teater modern (yang berbasis bahasa Indonesia baku).

Contoh:
·         “Ini sandalnya saya!” (seharusnya “Ini sandal saya!”)
·         “Xxx kopinya orang Indonesia!” (xxx kopi orang Indonesia)
·         “He, lama kita tidak bertemu, berapa anaknya sekarang?” (padahal maksudnya adalah berapa anakmu sekarang?)
·         atau ada reporter yang bertanya kepada seorang narasumbernya:
·         “Apa komentarnya melihat kejadian tadi?” (padahal yang dimaksud adalah komentar si narasumber itu, bukan orang lain).

Saya hanya awam bahasa Indonesia yang berkeyakinan bahwa penggunaan ‘-nya’ dengan maksud penekanan sebagai kata ganti milik orang ketiga tunggal seperti tersebut di atas adalah salah dan terasuki unsur-unsur tata bahasa Jawa. Hal demikian juga sudah banyak dibahas oleh para guru dan ahli bahasa Indonesia di berbagai forum dan media.

Saya menulis ini hanya didasari oleh kekhawatiran bahwa bila penggunaan ‘-nya’ yang tidak pada tempatnya tersebut dibiarkan dan tidak diingatkan secara luas, maka bukan tidak mungkin, kelak akan menjadi suatu kebiasaan yang seolah-olah ‘sah’ dalam bahasa tutur dan tulis kita dan dipakai mulai dari kalangan orang awam seperti saya, artis, bahkan para birokrat, serta bertelur pada surat-surat resmi dan kedinasan. Lebih luas, agar orang asing yang sedang belajar tata bahasa Indonesia dengan serius tidak dibuat bingung karenanya. Hargailah bahasa kita sendiri dan tak berhenti mempelajarinya.

Saya berharap, media massa (terutama televisi) lebih tajam dalam edit bahasanya.

Ini hanyalah rangkaian tulisan yang bersifat spontanitas,  mohon maaf  bila terdapat salah tulis di sana sini  dan terasa ‘sok tahu’. Saya juga belum sempurna dalam bertata bahasa Indonesia. Salam.
 
http://sastrombudeg.blogspot.com

Friday 25 February 2011

Astaga! Ferry dalam Foto itulah yang Terbakar!

Kemarin malam saya sulit tidur. Iseng-iseng untuk mendatangkan kantuk, saya membuka file berisi foto-foto yang pernah saya buat. Sesekali mengedit foto yang saya pandang perlu untuk melakukannya.

Beberapa foto yang saya buka adalah hasil jepretan sewaktu saya menengok anak pertama yang bersekolah di Jakarta pada sekitar tanggal delapan belas sampai dua puluh satu bulan Agustus Dua ribu sepuluh silam. Foto-foto dimaksud, di antaranya adalah hasil jepretan di atas ferry yang saya tumpangi dari Bakauheni - Merak pada antara jam sebelas sampai tiga belasan.

Sembari edit sana - edit sini,  terlintaslah dalam pikiran saya akan beberapa jepretan yang terfokus pada sebuah ferry lain yang berlayar beriringan dengan ferry yang saya tumpangi tak jauh dari pelabuhan Merak. Saya penasaran, siapa tahu yang saya jepret itu adalah ferry yang terbakar pada Januari 2011 silam.

Saya buka internet dan berburu di 'Mbah Google' untuk mencari berita tentang ferry yang terbakar itu. Dan ketemu.  Selesai.  Nama ferry (kapal roro) sudah saya kantongi, tinggallah kini membuka lagi file foto di komputer.

Pada sebuah foto ferry, saya melakukan pembesaran gambar seperlunya ... , Astaga! Terbacalah oleh saya, di lambung ferry tertulis "Laut Teduh 2"! Sama dengan berita di 'Mbah Google' itu!

1. Ferry itu!

Benar, ferry yang terbakar itu ternyata sama dengan yang saya bidik dari atas ferry yang saya tumpangi. Saya tertegun sejenak.

2. Ferry itu!

Satu lagi, sekedar untuk Anda ketahui bahwa sebelum peristiwa kebakaran terjadi,  salah satu foto saya dengan obyek ferry  "Laut Teduh 2",  ternyata jauh hari sudah  nampang  di blog ini! Silakan lihat di galeri sastrombudeg.

Weleh-weleh! Suatu kebetulan yang mengesankan bagi saya. Meski pun baru sekarang ingat dan menyadarinya.

----------------------------------------------------------------------------------------
3. Pelabuhan Merak Banten
4. Pelabuhan Merak Banten
5. Pelabuhan Merak Banten

Keterangan:  
Seluruh foto dalam postingan ini adalah koleksi pribadi sastrombudeg. Kata 'ferry ' menurut para ahli bahasa - istilah maritim - sebenarnya tidak tepat, yang benar adalah 'kapal roro'. Tetapi kata 'ferry' tetap saya pertahankan dalam artikel ini mengacu kebiasaan sebutan 'ferry' di masyarakat kita. Saya takut, dengan memakai istilah 'kapal roro', nanti timbul pertanyaan di kepala Mbahmo alias Sastrondower: 

"Alangkah kaya Mbak Roro itu, punya kapal begitu banyak, mondar-mandir Bakauheni Merak!"


http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 2 February 2011

Saya Jatuh Cinta Lagi?

Siang menjelang bubaran kantor, seorang kawan wanita, seorang guru,  tiba-tiba masuk ke ruang kerja saya dan serta merta bertanya kepada saya sambil 'menjap-menjep':
“Pakde, kemarin Pakde jatuh cinta lagi ya …?” Demikian dia biasa memanggil saya 'Pakde',  padahal saya lebih suka dipanggil ‘Mbahmo’.

Merah padam muka saya ketika itu.  Apalagi kata-kata itu dilempar begitu saja di depan dua orang wakil kepala sekolah yang saat itu tengah duduk-duduk di ruang tata usaha mengobrol dengan saya.

“Ah nggak mungkin. Pasti itu keliru. Yang lebih tahu tentang saya justru istri saya. Saya terbiasa blak-blakan dengan istri saya tentang hal apa saja. Itu kebiasaan saya dari dulu, meskipun sering kali terasa pahit olehnya.” Jawab saya masih agak tersipu sambil mencoba mengembalikan kejiwaan saya yang sedikit terguncang. Malu.

"Yang benar, Pakde ....!" Timpal dia masih menyerang saya sambil 'cengar cengir'.

"Ah...!" Telinga saya yang waktu kecil sering diolok-olok kawan sebagai 'kuping gajah' karena besarnya, kini dari merah mulai menghitam dan memanas.

Di rumah pun saya ceritakan kepada istri perihal pertanyaan kawan saya tadi.  Saya tadi belum sempat bertanya kepada ‘Bu Guru’ tentang kepada siapa saya jatuh cinta, gosip dari mana, dan apa tanda-tanda saya sedang jatuh cinta. Belum sempat bertanya, karena dia sudah keburu ngeloyor pergi sambil menyunggingkan senyum misteri, meninggalkan saya  dalam keadaan 'cegukan'  tak bisa ngomong apa-apa di hadapan sidang dua waka!

Jatuh cinta lagi? Di usia kepala empat jatuh cinta? 

Saya mulai menginterogasi diri-sendiri, sudah barang tentu tidak perlu dengan cara-cara  seperti reserse segala yang sampai menjepitkan jempol kaki tersangka ke  kaki kursi yang diduduki  agar terpaksa mengaku.

Belum lama ini saya iseng-iseng membaca ramalan shio saya di internet: “Waspadalah! Gosip dan skandal bisa jadi akan menimpa Anda di tahun 2011!" (inikah salah satunya?)

Lalu teringatlah saya akan obrolan bersama kawan-kawan seusia yang suka nongkrong di tempat favorit, di teras samping gubug saya sambil menyeruput kopi kental. Kami tertawa-tawa ketika topik masuk pada tingkah polah orang atau kawan pria berumur kepala empat di sekeliling kami.

Si A misalnya, yang dulu biasa berpakaian apa adanya dan ‘nglomrot’, akhir-akhir ini telah berubah total menjadi lebih bercahaya. Baju dimasukkan ke dalam celana, aroma wangi menebar di sekujur tubuhnya. Tak lupa sering ia mengumbar tawa-tiwi dan lengkingan siul dari mulut yang dimoncongkan ketika melihat perempuan muda berjalan atau bermotor lewat melintas tak jauh darinya.

Ada lagi si B, bahkan dia sudah nekat menjalin hubungan cinta dengan gadis ingusan berumur belasan. Teck ….

Jatuh cinta? Benarkah saya jatuh cinta? Benarkah hal-hal di atas juga telah menimpa saya? (Saya tertawa kecut)

Terbayanglah oleh saya para tokoh sastra dan musik:
Ada Kahlil Gibran dengan gaya cinta platonisnya, Ebiet G. Ade dengan musikalisasi puisi, Sapardi Djoko Damono dengan sajak-sajak kamarnya, Iwan Fals yang sanggup berlagu cinta dengan sangat menyentuh, elegan , dan tidak cengeng.

Masih banyak lagi.

Saya runut ke belakang kehidupan saya:
Semasa SMA, cita-cita saya banyak dan berubah-ubah. Namun pada penghujung kelas tiga telah mengerucut menjadi mantap: Saya ingin jadi psikolog.

Cita-cita terakhir tersebut terinspirasi oleh seorang penyair kota Semarang yang juga dosen (dekan?) fakultas psikologi di sebuah universitas swasta di kota itu. Darmanto Jatman.

Di tahun delapan puluhan, beliau adalah salah seorang penyair yang sering membacakan puisi-puisi karyanya di TVRI Stasiun Yogyakarta. Saya suka terpingkal-pingkal dan terpesona oleh cara beliau membawakannya. Melankolis dan kenes.

Kenyataannya sampai detik ini cita-cita menjadi psikolog tidak kesampaian.

Selain itu, saya juga seorang pengagum tokoh Semar dalam seni pewayangan. Sosok punakawan setengah dewa yang pintar mumpuni dan berilmu tinggi tapi tetap rendah hati, sederhana, bersahaja, serta menjadi penebar kasih sayang kepada siapa saja. Saya sangat terobsesi menjadi “Sang Pamomong” lengkap dengan fasilitas filosofinya.

Saya ingin berguna bagi orang lain tanpa berharap balasan atau untuk keuntungkan diri sendiri. Saya ingin menjadi tempat bertanya bagi banyak orang dan dapat membantu memberi solusi bagi masalah-masalah keruwetan hidup anak manusia.

Yang tersebut di atas ternyata juga masih belum bisa saya tunaikan walaupun tak seideal gambaran tokoh Semar aslinya. Sekalipun. Semua hanya mimpi di siang bolong.  Saya masihlah seperti manusia 'Mbahmo' yang kemarin: Bodoh dan sok suci!

Maksud penggambaran di atas adalah, saya lebih ingin dan cenderung mendahulukan ‘kasih sayang’ kepada sesama ketimbang ‘cinta’. Konon ‘cinta’ adalah bentuk memberi yang ingin diberi juga. Berbeda dengan kata ‘kasih sayang’, mau memberi tapi tak mengharap balasan. Sebab bagi ‘kasih sayang’, keikhlasan lebih berharga dan memuaskan perasaan bagi yang berhasil melakukannya. Itulah idealnya. Kenyataannya, sampai sekarang juga, saya  masih menjadi manusia yang berangasan dan temperamental.

Jatuh cinta? Benarkah saya jatuh cinta lagi?
(Saya tertawa masam)

Pagi-pagi sekali saya sudah berangkat ke tempat kerja dan tak sabar untuk bertemu kawan wanita tersebut.  Semalaman saya tidak bisa tidur karena lemparan bola ‘cinta’ nya itu.

Setelah menunggu sekitar satu jam, saya bertemu dia di ruang perpustakaan. Saya agak kikuk juga saat menanyakan perihal ‘kejatuhcintaan’ saya seperti yang dikemukakannya kemarin.  Setelah berhasil saya sampaikan pertanyaan saya meski sambil agak terbata, tertawalah dia ngakak sengakak-ngakaknya.

“Saya memang sedang ngerjain Pakde. Tumben hari Minggu kemarin Pakde berduaan dengan nyonya masuk keliling kalangan (pasar)! Seperti orang yang sedang pacaran dan jatuh cinta! Hehe….”

Kurang asem!

Tapi saya maklum dan mungkin tidak berlebihan kiranya dia bersikap dan berkata begitu. Sebab, meskipun rumah saya berada di lingkungan pasar (pinggir jalan besar tiga puluhan meter dari pasar), dihitung-hitung sudah lebih dari setahun saya tidak masuk  pasar dan menikmati keramaian jual beli di dalamnya.    Apalagi sampai keliling bareng istri sambil berpegangan tangan!

Jatuh cinta? Benarkah saya jatuh cinta lagi?
(Saya tertawa, kali ini benar-benar bahagia dan manggut-manggut mengakuinya)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(Kahlil Gibran)

Sahabat adalah pemenuhan kebutuhan jiwa.
Dialah ladang hati, yang ditaburi dengan kasih dan dituai dengan penuh rasa terima kasih.
Sahabat adalah naungan sejuk keteduhan hati dan Api unggun kehangatan jiwa, karena akan dihampiri kala hati gersang kelaparan dan dicari saat jiwa mendamba kedamaian.
Ketika ia menyampaikan pendapat, kalbu tak kuasa menghadang dengan bisikan kata “tidak”, dan tak pernah khawatir untuk menyembunyikan kata “ya” 
Bilamana dia terdiam tanpa kata hati senantiasa mencari rahasianya
Dalam persahabatan yang tanpa kata, segala fikiran, hasrat, dan keinginan terangkum bersama, menyimpan keutuhan dengan kegembiraan tiada terkirakan. 
Ketika tiba saat perpisahan janganlah ada duka, sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan.
Seperti gunung yang nampak lebih agung dari padang dan ngarai.

Lenyapkan maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Karena cinta berpamrih yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya,
bukanlah cinta, tetapi sebuah jaring yang ditebarkan ke udara
hanya menangkap kekosongan semata.

Persembahkan yang terindah bagi persahabatan. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu. Karena persahabatan kan kehilangan makna jika mencarinya sekadar bersama guna membunuh waktu. Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu.

Sahabat kan mengisi kekuranganmu bukan mengisi kekosonganmu.
Dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa kegirangan
Berbagi duka dan kesenangan karena dalam rintik lembut embun, hati manusia menghirup fajar yang terbangun dan kesegaran gairah kehidupan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 8 December 2010

Mengapa Pentas Wayang lalu Menjadi Sarkas?

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wayang sebagai bagian seni pentas, baik itu wayang orang, kulit, ataupun golek, yang dalam perkisahannya identik dengan fragmen-fragmen Ramayana dan Mahabarata, dari waktu ke waktu berada dalam rel dinamika penyikapan terhadap lingkungan dan budaya yang men’zamani’nya.

Kiranya salah besar apabila kemudian terjadi polemik tentang pergeseran nilai-nilai kewayangan, sebagaimana pernah terjadi pada dekade delapan puluhan sampai sembilan puluhan. Para budayawan Jawa (dari berbagai kalangan) gagal mencapai kesimpulan dan membuat formula bagaimana cara ‘mengunci’ wayang di dalam satu kotak pandora bernama “pakem’. Bagaimana seni pewayangan menjadi benda pusaka suci yang tidak boleh disentuh oleh peradaban selanjutnya. Wayang harus ‘seolah-olah’ menjadi saksi bisu suatu ‘kemandegan’ proses berbudaya suatu bangsa.

Saat itulah, dalang-dalang, para sinden, dan niyaga dituntut berperan sebagai mayat-mayat yang bangkit dari kubur: anyir, kaku, bisu, dan pucat. Dan penontonnya pun dapat dipastikan hanyalah orang-orang yang bernyali untuk duduk bersila di atas tikar penonton di balik 'geber' (layar) sampai kokok ayam jantan di subuh buta menyadarkannya.

Untung, masyarakat pecinta dan pelaku dalam pentas-pentas wayang jalan terus dan tidak perduli dengan kertas kerja-kertas kerja mereka. Masyarakat yang terintegrasi dalam kehidupan dan penghidupan di dalam pentas-pentas wayang tidak 'mood' dengan idiom-idiom pewayangan hasil rekayasa para pengamat atau budayawan.

Salah satu pemicu ‘kegelisahan’ para budayawan saat itu adalah Ki Nartosabdo. Dalang yang besar di Semarang itu pada tahun tujuh puluh-delapan puluhan mengemas wayang menjadi ‘pakeliran padhet’. Pementasannya tak lebih dari lima-enam jam, beda dengan wayang sebelumnya yang bisa mencapai dua belas jam! Lebih ekstrim lagi, bekas muridnya, Ki Manteb Soedarsono, yang bahkan bisa (baca: berani) melakukan pentas hanya untuk waktu tayang dalam hitungan di bawah satu jam saja!

Sesungguhnya, yang terjadi kala itu hanyalah ekspresi rasa kekhawatiran terhadap pergeseran nilai-nilai orisinalitas wayang. Ada yang ‘dipaksakan’ untuk dilupakan bahwa wayang mempunyai sejarah kreatif dan berasal dari suatu proses yang membutuhkan kurun waktu hingga terbentuk menjadi seperti sekarang ini.

Ada kehendak sebagian budayawan untuk membakukan (mem’pakem’kan) wayang. Mereka lupa bahwa kondisi kita saat ini seringkali tidak pas untuk menjadi penonton wayang model baku dan ‘orisinal’ seperti yang mereka inginkan. Mereka sengaja mencoba dan berusaha memuntir fakta sejarah bahwa awal sebuah wayang adalah juga bukan bersumber pada sebuah orisinalitas. Karena sebagian komponen di dalamnya terdapat barang impor dari India (kisah Ramayana dan Mahabarata), yang bahkan juga tidak pernah dipersoalkan oleh masyarakat Hindu India sebagai sebuah ‘pembajakan’.

Dari situ, maka sebagai langkah ‘damai’ antara pihak yang propakem (idealis) dan pihak pelaku seni pewayangan propasar (realistis), dibuatlah bermacam-macam karakter pementasan wayang; wayang klasik, wayang pop, wayang popndut, dan sebagainya. Semua tinggal mana selera kita.

Kritik Sosial pada Pementasan Wayang

Seperti halnya pada seni sastra, seni rupa, seni musik, dan seni pertunjukan lainnya, wayang secara terus-menerus juga melahirkan kreativitas baru dan dinamis sebagai bentuk penyikapan terhadap laju peradaban manusia. Seni tidak bisa lepas dari peradaban manusia. Peradaban manusia tidak bisa lepas dari seni.

Kritik-kritik sosial dan ‘pemberontakan’ terhadap suatu keadaan tertentu yang mengganggu nurani humaniora seringkali lahir dan diungkapkan melalui seni. Wayang dengan bijaksana telah meletakkan ruang ‘mimbar rakyat’ dalam ‘pakem’ pementasannya melalui Punakawan dan Limbuk yang eksis di sesi ‘Goro-goro’ . Sebuah sesi yang selama ini dianggap sebagai sesi yang tidak penting dan hanya menjadi embel-embel pencegah kantuk. Biasanya muncul setelah jam dua belas malam.

‘Mimbar rakyat’ tersebut pada tengah dekade sembilan puluhan telah digarap lebih ‘berani’ dan diberdayakan oleh para dalang senior yang telah sampai pada puncak ‘kekesalan’ terhadap perilaku rezim Orde Baru. Pemberdayaan sesi ini pada kenyataannya seringkali justru ditunggu para penikmatnya, lebih nge’pop’ mengalahkan jalan cerita utama.

‘Mimbar rakyat’ tak melulu ‘guyon maton’ (asal humor), tapi digarap sebagai arena melontar kritikan. Bahwa seni pewayangan ber’roh’kan ajaran dari kitab Ramayana dan Mahabarata dan notabene berisi tuntunan hidup (hitam-putih, baik-buruk, jujur-bohong, adil-curang, dan lain sebagainya), ternyata dianggap tidak mempan lagi sebagai suluh pengembali nurani kebenaran dan keadilan yang di belakangnya berlaku ‘karma hasil perbuatan’.

‘Mimbar bebas’ ala wayang telah menjadi ruang untuk memuntahkan ‘kemarahan moral’ sang dalang. Dikemas dalam bahasa ‘rakyat’ dalam suasana ‘rakyat’ pula. Jiwa rakyat diserapnya, dihayatinya, direfleksikannya, dan diletupkan sedemikian rupa dalam bahasa kritik yang sungguh me’nyudra’. Tak heran bila di mana-mana menuai aplus dan ‘ger’ dari segala lapisan masyarakat penikmat wayang. Para pejabat pada saat itu pun juga turut hanyut dalam arus ger-geran, tak sadar bahwa mereka juga menjadi salah satu sasaran tembaknya.

Menjelang Reformasi 1998 dan sesudahnya, adalah Ki Manteb Soedarsono, sebagai salah satu motor gerakan ‘mimbar bebas’ ala wayang. Lugas, cerdas, dan sarkas. Tentang ini, penulis yang berada di daerah transmigrasi saat itu, memonitor pentas-pentas Ki Manteb Soedarsono melalui  RRI Pusat Jakarta yang tiap malam Minggu menyiarkan secara live pentas wayang kulit diselang-seling dengan wayang golek.

Telah lazim bahwa pentas wayang sebelum genre Ki Nartosabdo merupakan pengabdi kesantunan tutur tradisi Jawa yang penuh perlambang dan pesan-pesan luhur. Wayang sebagai media komunikasi yang berisi tuntunan penuh filosofi Jawa relatif terjaga. Namun di tangan Ki Manteb Sudarsono, monotonitas seperti di atas serta merta bisa raib dan berubah menjadi dramatis, sarkas, ‘nyelekit’, dan ekspresif (dari sebuah sumber, dramatika pewayangan menjadi roh yang memikat semenjak Ki Nartosabdo memperoleh pembelajaran dari dalang Ki Wignyo Sutarno).

Wayang adalah wayang. Dalang tetaplah pengendalinya. Idealisme lakon seakan-akan menjadi hak mutlak sang dalang, di luar standar minimal agar sebuah wayang kulit tetap disebut pementasan wayang kulit. Sudah barang tentu.

Penulis bukanlah orang yang paham dengan dunia wayang. Maka mohon dimaafkan bila terdapat kekeliruan dalam penganalisaan sejarah wayang. Penulis tergoda untuk menulis ini, karena setahu penulis, bahasa tuntunan dalam pementasan wayang ‘klasik’ cenderung halus dan terjaga kesopanannya, yang pada awal-awal Reformasi 1998 hingga sekarang terasa berubah menjadi ‘binal’ dan ‘liar’.

Mungkinkah zaman yang menghendaki demikian?

Para pemimpin, pemegang otoritas politik, hukum, ekonomi, pendidikan, serta agama seakan ‘budeg’ dan ‘ndableg’. Atau bahkan ‘menantang’! Pendek kata, dengan tuntunan halus (sindiran) ala wayang ‘klasik’ sudah tidak mempan. Maka sarkasme sang dalang genre sekarang agaknya tak bisa disalahkan.

Bila itu juga tidak mempan?

(kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini akan diperbaiki bila waktu telah memungkinkan)

Sunday 5 December 2010

Belajar Kedisiplinan pada Seorang Penjual Roti Bakar


http://sastrombudeg.blogspot.com

Dua minggu yang lalu saya ikut kawan pergi ke kota dengan menumpang mobilnya. Saya hendak mencari travo baru untuk mengganti travo mesin fotokopi kami yang terbakar (sudah tiga kali ganti dalam enam bulan terakhir-mungkin karena dari PLN voltagenya terlalu rendah (160 V) dan tidak stabil). Sementara kawan saya bermaksud membeli bensin untuk dijual kembali di kiosnya. Tiga jerigen kapasitas 40 liter teronggok di kabin bagian belakang APV-nya. Sudah tiga minggu ini bensin langka di daerah kami.


Saya telah mendapatkan travo dari tukang servis fotokopi kami. Si kawan tidak berhasil mendapatkan bensin di SPBU. Tidak punya surat izin!

Hari telah senja ketika kami sepakat pulang. Saat di depan mini swalayan, mobil menepi dan berhenti di seberangnya. “Cari oleh-oleh untuk Rico!”,  ujarnya menyebut nama anak kesayangannya sambil membuka pintu mobil. Saya pun menurut.

Saya membuntut saja, sebuah gerobak bertuliskan "Roti Bakar Bandung" menjadi tujuannya. Segera ia memesan sesuai selera. Saya juga. Kami menunggu pesanan sambil duduk di bangku panjang yang disediakan.

Dalam 'masa tunggu' itu, saya berada dalam kegelisahan yang amat sangat. Saya kagum kepada si anak muda penjual roti bakar itu. Dengan sangat cekatan, runtut, dan tertib, dia melakukan aksi ritual 'pembakaran roti'.

Di mulai dengan mengambil roti tawar, buka belahan roti, oles bahan isian sesuai pesanan, bakar, colak-colek dan bolak balik di pemanas (sembari membakar roti, ia lakukan pekerjaan sesuai urutan pertama untuk pesanan berikutnya), angkat, letakkan tepat di tumpukan kertas pembungkus, potong-potong, bungkus, ikat karet. Selesai. Lanjutkan roti berikutnya.

Begitu seterusnya.

Tak terasa, saya keasyikan melihat cara kerja si anak muda itu. Semua kebutuhan bahan dan alat produksi disusun sedemikian rupa sesuai urutan proses produksinya, jangkauan tangan terukur serta imbang dengan kerja pengawasan menggunakan mata. Saya menyadari, ini adalah suatu proses produksi yang sangat sederhana. Sangat sederhana. Tak bolehkah diapresiasi sebagai contoh bagi saya bahwa begitu penting arti kedisiplinan dalam suatu pekerjaan? Pekerjaan apa saja.

Begitu seterusnya.

Saya lalu teringat dengan proses pelayanan dan produksi pada kios tempat penjualan alat tulis kantor dan fotokopi milik kami yang dikelola istri. Semua serba semrawut.

Semrawut.
Begitu seterusnya ….

Bukan cuma sekali-dua kami berdebat tentang arti efisiensi dan efektivitas pada suatu proses produksi. Bagaimana cara meringankan kerja tangan dan mata atau anggota tubuh yang lain dalam suatu proses pekerjaan, bagaimana dalam waktu yang sama bisa menyelesaikan dua atau tiga pekerjaan sekaligus tanpa kerepotan, ngos-ngosan, dan 'gedubrakan', misalnya.

Pernah suatu kali, seseorang bermaksud melaminasi selembar ijazah SD-nya, yang karena suatu keperluan, barang itu ditinggal dulu dan akan diambil keesokan harinya. Apa lacur? Pagi harinya, ketika orang tersebut datang hendak mengambil orderannya, barang dokumen berharga itu tak berhasil kami temukan!

Laci-laci, tumpukan kardus, kertas-kertas dalam kantong sampah dibongkar lagi. Tidak ketemu! Pokoknya wang-wing-wung kardus dan kertas bekas dilempar sana-sini. Untung, uang di dalam laci tidak turut kami hambur-hamburkan.

Mulailah saling tuding dan saling menyalahkan. Muka istri saya dan 'pegawai'nya (seperti toko besar saja) terlihat pucat pasi. Kami stres berat. Untung (untung lagi) si tuan ijazah tidak menunjukkan kemarahannya. Dia sabar dan memaklumi (siapa tahu isi hatinya?).

Akhirnya si tuan ijazah itu pulang dengan tangan hampa. Kami berjanji bertanggung jawab menggantinya dengan ijazah pengganti bila masih tidak diketemukan.

Dua hari-tiga hari lewat. Ijazah itu tak tahu rimbanya. Itu artinya kami harus bersiap menanggung pengurusan ijazah pengganti yang konon harus mengikuti proses birokrasi yang cukup rumit. Mulai dari lapor ke polisi ... hingga mengurus sampai dinas pendidikan provinsi. Serasa byar-pet mata saya. Marah dan marah yang ada. Saya memang menyerahkan pengelolaan usaha itu kepada istri sembilan puluh persen. Saya sendiri ada usaha lain ….

Pada hari keempat kehilangan ijazah, pagi-pagi muncul seseorang tak dikenal dan mengulurkan  selembar ijazah yang diambil dari dalam tasnya. Itu dia yang kami cari! Ijazah SD tersebut terbawa olehnya saat melaminasi kartu keluarga! Wuah. Lega rasanya.

Kembali ke penjual  roti bakar. Bisa dibayangkan apabila si penjual tidak berdisiplin dalam menjalankan usahanya tersebut. Penempatan karet gelang (sekedar karet pembungkus!) di letakkan tepat di depan jidat. Pisau pengerat roti terletak di laci atas di samping paku penempat karet gelang tadi. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Itu adalah bagian dari pelayanan konsumen agar efisien dan cepat. Kadang kala para pelanggan bisa saja menumpuk antri. Sangat sulit dibayangkan bila penjepit roti 'pengentas' dari pemanas hilang atau ketlingsut terbawa oleh pembeli yang usai bayar langsung kabur! Atau menunjukkan ‘ketidakprofesionalan’ dengan berkata “Aduh, di mana ya soled saya taruh tadi?” atau “Maaf  Bu, Ibu lihat tumpukan karet di situ tidak?”

Ya, sekali-lagi sederhana. Sederhana sekali. Tapi awal dari kedisiplinannya, pastilah ada orang yang telah memikirkannya sebelum dia, bagaimana cara melakukan pekerjaan dengan nyaman, efisien, dan menyenangkan dan enak ditonton.

Sungguh suatu kebrilianan kecil yang tak terpikirkan oleh saya. Sebelumnya.

Sunday 14 November 2010

Sampai Kapan Lanting Bertahan ...


http://sastrombudeg.blogspot.com

Adalah 'Jaka Tingkir' ala Suku Ogan.
Bila Jaka Tingkir 'Jawa' menjadikan bambu untuk menyeberang sungai/rawa sebagai 'gethek', maka 'Jaka Tingkir' Ogan ini menaikinya selama lebih kurang tujuh hari tujuh malam lalu ... menjualnya di kota!



Mereka menyusun rangkaian 'gethek komersial' (dikenal sebagai 'Lanting') ini di  daerah sekeliling Baturaja. Setelah siap, dengan perbekalan seadanya saja (tenda plastik, tikar, lampu minyak/obor, beras, dan alat masak sederhana) berangkatlah pelayaran tanpa layar mereka. Mereka tidak begitu pusing dengan lauk-pauk, karena Sungai Ogan telah menyediakan ikan yang berlimpah.

Dibawa ke mana bambu-bambu ini?
Setelah menyusuri Sungai Ogan selama lebih kurang satu minggu (tergantung arus air) dari Baturaja (hulu), sampailah 'gethek-gethek' ini di (hilir) Kota Palembang ( 'Muara Ogan'-pertemuan dengan Sungai Musi). Di sini 'gethek' dijual kepada para pengumpul atau langsung kepada konsumen. Biasanya bambu-bambu ini digunakan sebagai bahan pendukung/penopang /tangga saat pembangunan gedung-gedung tinggi.

Catatan: Sungai Ogan melintasi empat wilayah kabupaten/kota, yakni Muara Enim, OKU, OI, dan Kota Palembang. Panjang?

Wednesday 15 September 2010

Jadi Guru di Pedalaman Papua

http://sastrombudeg.blogspot.com
ilustrasi: foto Gunung Bromo, Kasada 18 Desember 1986, penulis kanan paling belakang. (Tim Pasmanega I)






Semasa SMP dan SMA, bersama seorang kawan (Burhanudin) saya gemar jalan-jalan keliling daerah dengan menumpang kendaran tanpa bayar (truk, kereta barang) dan jalan kaki. Pada SMP kelas III liburan semester lima (Desember 1984), bersama kawan tersebut berangkatlah kami dari Ambarawa ke Jakarta. Kami telah sampai di puncak Monas, Taman Mini Indonesia Indah, dll.  Betapa bangga kami saat itu. Kenapa? karena kami hanya dengan sekadar membawa ongkos beli nasi putih di jalan (lauk abon sapi bawa dari rumah) bisa menempuh perjalanan sejauh itu di seusia itu. Perjalanan itu kami abadikan dengan foto-foto bersama dan saya buat catatan-catatan perjalanan dalam buku lusuh, lengkap dengan isian jam dan tanggal.

Pada tahun 1986 (SMA) kami kembali melakukan perjalanan ke Pulau Dewata. Kami sempat mengunjungi Danau Batur (Trunyan), Istana Tampak Siring, Goa Gajah, Ubud, Sanur, Kuta, dan Museum Bali.

Dari situ, karena begitu kagum dan bangga sebagai anak Indonesia, saya pernah bercita-cita melanjutkan perjalanan sampai tanah Papua (Irian Jaya saat itu). Entah tanpa bermaksud apa-apa, saya dari jauh merasa dekat dengan tanah tersebut. Saya merasa cinta dengan Bumi Cenderawasih. Begitu ingin saya masuk ke pedalaman paling terpencil sekalipun. Saya hanya ingin saling berbagi ilmu dengan saudara-saudara saya di sana. Saya ingin menjadi guru di sana ....

Walau kenyataan berkata lain. Akhirnya perjalanan hidup saya terdampar di tanah subur di tepian alur Sungai Ogan (Peninjauan-Baturaja-OKU-Sumatera Selatan). Di tanah ini pun saya jatuh cinta dengan alam dan budayanya. Saya hanya ingin selain hidup di tanah tepian Ogan ini, juga ingin berguna bagi tanah yang telah turut menghidupi saya beserta anak-istri.

Akhirnya dalam uraian singkat ini, saya menjadi semakin sadar bahwa saya cinta negeri indah ini, saya cinta nasionalisme Indonesia dengan sepenuh hati. Sakit di Aceh, Papua, adalah sakit saya.

Saya manusia yang terlahir dalam suku Jawa, tapi koleksi lagu-lagu dalam komputer saya adalah lagu-lagu Batak, Minang, Papua, Sunda, dan Sumatera Selatan. Meskipun banyak yang saya tak tahu artinya, tapi itu seakan mampu menghayatinya dan serasa terbang ke di mana lagu itu berasal.

Ketulusan bernasionalisme dalam Indonesia Raya-ku tak ada hubungan dengan kepentingan ekonomi. Aku bangga punya Saudara Papua, Saudara Aceh, Saudara Ogan, Saudara Komering, Minang, Batak, Dayak (saya pernah tinggal bersama kawan Dayak, Bugis, Lombok, dan Banjar di Kampung Baru - Tepian Sungai Kelian Tambang Emas PT KEM Kutai Kalimantan Timur-1988). Juga sudah barang tentu suku-suku lainnya.

Tuesday 23 March 2010

Revolusi Pendidikan?

Sastro tergelak-gelak! Dinding anyaman bambu gubugnya ikut kegelian diantuk-antuk jarum-jarum rambut 'njegrag'nya. Songkok idola yang sudah 'mbluthuk' yang di'topi'kan pada engsel lututnya turut terjungkal masuk ke kolong meja reot menyentuh lantai tanah dan ups! Berhasil! Mencium ... tahi kucing sebesar biji melinjo gosong! (Sungguh kucing gegabah yang tidak pantas ditiru! Habis buang hajat tidak diurug kembali...!) Cangkir ompreng seng (konon diimpor dari Tiongkok) dengan sedikit air kopi tersisa, yang dijamin kwalitetnya, sembilan puluh tujuh persen berkadar ... jagung tumbuk, mencelat tersepak jempol kakinya dan jatuh di ... tempat kosong! (tak usah berharap terjadi gol kali ini atau lain kali!).

(belum selesai ....-inspirasi mandek-sret)