ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Sunday 5 December 2010

Belajar Kedisiplinan pada Seorang Penjual Roti Bakar


http://sastrombudeg.blogspot.com

Dua minggu yang lalu saya ikut kawan pergi ke kota dengan menumpang mobilnya. Saya hendak mencari travo baru untuk mengganti travo mesin fotokopi kami yang terbakar (sudah tiga kali ganti dalam enam bulan terakhir-mungkin karena dari PLN voltagenya terlalu rendah (160 V) dan tidak stabil). Sementara kawan saya bermaksud membeli bensin untuk dijual kembali di kiosnya. Tiga jerigen kapasitas 40 liter teronggok di kabin bagian belakang APV-nya. Sudah tiga minggu ini bensin langka di daerah kami.


Saya telah mendapatkan travo dari tukang servis fotokopi kami. Si kawan tidak berhasil mendapatkan bensin di SPBU. Tidak punya surat izin!

Hari telah senja ketika kami sepakat pulang. Saat di depan mini swalayan, mobil menepi dan berhenti di seberangnya. “Cari oleh-oleh untuk Rico!”,  ujarnya menyebut nama anak kesayangannya sambil membuka pintu mobil. Saya pun menurut.

Saya membuntut saja, sebuah gerobak bertuliskan "Roti Bakar Bandung" menjadi tujuannya. Segera ia memesan sesuai selera. Saya juga. Kami menunggu pesanan sambil duduk di bangku panjang yang disediakan.

Dalam 'masa tunggu' itu, saya berada dalam kegelisahan yang amat sangat. Saya kagum kepada si anak muda penjual roti bakar itu. Dengan sangat cekatan, runtut, dan tertib, dia melakukan aksi ritual 'pembakaran roti'.

Di mulai dengan mengambil roti tawar, buka belahan roti, oles bahan isian sesuai pesanan, bakar, colak-colek dan bolak balik di pemanas (sembari membakar roti, ia lakukan pekerjaan sesuai urutan pertama untuk pesanan berikutnya), angkat, letakkan tepat di tumpukan kertas pembungkus, potong-potong, bungkus, ikat karet. Selesai. Lanjutkan roti berikutnya.

Begitu seterusnya.

Tak terasa, saya keasyikan melihat cara kerja si anak muda itu. Semua kebutuhan bahan dan alat produksi disusun sedemikian rupa sesuai urutan proses produksinya, jangkauan tangan terukur serta imbang dengan kerja pengawasan menggunakan mata. Saya menyadari, ini adalah suatu proses produksi yang sangat sederhana. Sangat sederhana. Tak bolehkah diapresiasi sebagai contoh bagi saya bahwa begitu penting arti kedisiplinan dalam suatu pekerjaan? Pekerjaan apa saja.

Begitu seterusnya.

Saya lalu teringat dengan proses pelayanan dan produksi pada kios tempat penjualan alat tulis kantor dan fotokopi milik kami yang dikelola istri. Semua serba semrawut.

Semrawut.
Begitu seterusnya ….

Bukan cuma sekali-dua kami berdebat tentang arti efisiensi dan efektivitas pada suatu proses produksi. Bagaimana cara meringankan kerja tangan dan mata atau anggota tubuh yang lain dalam suatu proses pekerjaan, bagaimana dalam waktu yang sama bisa menyelesaikan dua atau tiga pekerjaan sekaligus tanpa kerepotan, ngos-ngosan, dan 'gedubrakan', misalnya.

Pernah suatu kali, seseorang bermaksud melaminasi selembar ijazah SD-nya, yang karena suatu keperluan, barang itu ditinggal dulu dan akan diambil keesokan harinya. Apa lacur? Pagi harinya, ketika orang tersebut datang hendak mengambil orderannya, barang dokumen berharga itu tak berhasil kami temukan!

Laci-laci, tumpukan kardus, kertas-kertas dalam kantong sampah dibongkar lagi. Tidak ketemu! Pokoknya wang-wing-wung kardus dan kertas bekas dilempar sana-sini. Untung, uang di dalam laci tidak turut kami hambur-hamburkan.

Mulailah saling tuding dan saling menyalahkan. Muka istri saya dan 'pegawai'nya (seperti toko besar saja) terlihat pucat pasi. Kami stres berat. Untung (untung lagi) si tuan ijazah tidak menunjukkan kemarahannya. Dia sabar dan memaklumi (siapa tahu isi hatinya?).

Akhirnya si tuan ijazah itu pulang dengan tangan hampa. Kami berjanji bertanggung jawab menggantinya dengan ijazah pengganti bila masih tidak diketemukan.

Dua hari-tiga hari lewat. Ijazah itu tak tahu rimbanya. Itu artinya kami harus bersiap menanggung pengurusan ijazah pengganti yang konon harus mengikuti proses birokrasi yang cukup rumit. Mulai dari lapor ke polisi ... hingga mengurus sampai dinas pendidikan provinsi. Serasa byar-pet mata saya. Marah dan marah yang ada. Saya memang menyerahkan pengelolaan usaha itu kepada istri sembilan puluh persen. Saya sendiri ada usaha lain ….

Pada hari keempat kehilangan ijazah, pagi-pagi muncul seseorang tak dikenal dan mengulurkan  selembar ijazah yang diambil dari dalam tasnya. Itu dia yang kami cari! Ijazah SD tersebut terbawa olehnya saat melaminasi kartu keluarga! Wuah. Lega rasanya.

Kembali ke penjual  roti bakar. Bisa dibayangkan apabila si penjual tidak berdisiplin dalam menjalankan usahanya tersebut. Penempatan karet gelang (sekedar karet pembungkus!) di letakkan tepat di depan jidat. Pisau pengerat roti terletak di laci atas di samping paku penempat karet gelang tadi. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Itu adalah bagian dari pelayanan konsumen agar efisien dan cepat. Kadang kala para pelanggan bisa saja menumpuk antri. Sangat sulit dibayangkan bila penjepit roti 'pengentas' dari pemanas hilang atau ketlingsut terbawa oleh pembeli yang usai bayar langsung kabur! Atau menunjukkan ‘ketidakprofesionalan’ dengan berkata “Aduh, di mana ya soled saya taruh tadi?” atau “Maaf  Bu, Ibu lihat tumpukan karet di situ tidak?”

Ya, sekali-lagi sederhana. Sederhana sekali. Tapi awal dari kedisiplinannya, pastilah ada orang yang telah memikirkannya sebelum dia, bagaimana cara melakukan pekerjaan dengan nyaman, efisien, dan menyenangkan dan enak ditonton.

Sungguh suatu kebrilianan kecil yang tak terpikirkan oleh saya. Sebelumnya.