ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu
Showing posts with label anekdot. Show all posts
Showing posts with label anekdot. Show all posts

Wednesday 5 November 2014

Satu Dua Tiga Jepret!

Sebenarnya, saya bukan tukang foto beneran (saya tulis saja 'tukang foto' -bukan 'fotografer'). Saya membeli kamera cuma karena ingin menyalurkan hobi, selain ingin memuaskan diri dari rasa sok  ingin tahu saja tentang fotografi.

Kadang (sering sih-hehe), istri saya ngomel-ngomel: " Hobi kok mahal, kamera bagus sudah dibeli  (ukuran kami), softbox-nya juga, e... kok cuma untuk iseng-isengan!" (ada benarnya juga sih-hehe).

Nah, suatu ketika, oleh seorang kenalan (kepala sebuah taman kanak-kanak), istri saya ditawari untuk memotret murid-murid di TK-nya (pas foto untuk ijazah dan foto grup) karena dia tahu kami punya kamera. Akhirnya, di depan istri, dengan berat hati (tak bisa menolak-takut dia marah) saya mengangguk saja tanda setuju untuk melaksanakan order pemotretan itu.

Tiba pada hari pemotretan, pagi-pagi benar saya sudah bersiap, kamera dan softbox saya masukkan ke dalam mobil dan go!

Istri juga ikut serta, saya menolak sendirian, karena grogi memotret di hadapan orang ramai, apalagi yang ada biasanya adalah hanya para ibu, guru-guru (yang juga wanita) ditambah murid-murid TK dengan aneka tingkahnya.

Usai pemasangan kain background warna merah berikut setting cahaya, masuklah di sesi pertama, yakni pemotretan masing-masing anak untuk pas foto. Cukup atur posisi, pakaian, dan pegang-pegang anak agar sesuai untuk pemotretan setengah badan, lalu bilang 'bagus...tahan' dan pret...pret. Meski memakan waktu cukup lama, karena dari empat puluh anak, masing-masing bisa dua sampai empat jepretan, akhirnya, sesi tersebut selesai juga.

Tibalah sesi kedua, pemotretan grup segera berlangsung, penataan tempat dan posisi anak-anak dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi yang ada.

Berhubung  ini merupakan pemotretan grup yang melibatkan banyak orang (baca: anak-anak!) yang sangat sulit dikontrol, maka, saya harus punya kiat khusus dalam pembidikan sekaligus eksekusi tombol shutternya.

Pertama, saya mencoba menggunakan metode curi-curi atau diam-diam memencet shutter setelah pengaturan pose. Dengan cara ini, saya berharap, face dan gaya subjek benar-benar alami dan enjoy. Upaya ini ternyata gagal total! Dengan cara mengucap 'tahan...' lalu jepret pun tidak berhasil, karena mereka memang begitu sulit dikendalikan tingkah dan konsentrasinya, padahal sudah berulang kali diatur kembali dan diingatkan oleh para gurunya.

Sebenarnya, banyak cara untuk pemberian kode kepada subjek untuk siap dijepret, dengan harapan pada saat tombol shutter ditekan, yang bersangkutan tidak kaget dan berkedip atau terpejam matanya.  Tapi entahlah, hari itu kepala saya tiba-tiba seperti blank dan mati akal.


Melihat keadaan itu, akhirnya, saya menyerah dan kembali menggunakan metode klasik saja, yaitu memberi aba-aba satu-dua-tiga-jepret. Sebuah metode tukang foto di masa lalu yang cukup berhasil, meski berimbas pada kekakuan  subjek (tidak enjoy bagi yang tidak biasa).

"Nah, sekarang kita pakai aba-aba hitungan tiga kali ya anak-anak!"

 Mereka diam tidak menyahut. Sip dah kalau begitu, artinya, posisi (pose) anak-anak tidak berubah.

Keadaan lumayan tegang, terutama saya. Anak-anak sudah kaku dan menahan napas menghadap kamera. Nah, ini pertanda baik, pikir saya.

Sambil mata mengintip mantap, sementara jari telunjuk tangan kanan berada di atas tombol shutter, saya berteriak: "Siap! Satu...!"

"Dua...tiga!" (kali ini 'dua...tiga'-nya bukan saya yang meneriakkan). Sebuah suara koor nan kompak dari empat puluh anak, tanpa dikomando langsung bergema di dalam ruang pemotretan! Saya terkejut dan heran, kok bisa begini ya?

"Oke, kita ulang ya....!", teriak saya, tidak menggubris ulah mereka.

Namun, seusai saya mengucapkan aba-aba 'siap! satu...!', lagi-lagi, dengan tanpa rasa bersalah, empat puluh murid TK di depan saya itu serempak menimpali dan melanjutkan hitungan 'satu' saya itu dengan kata-kata 'dua...tiga!'.

Saya bingung.

Berulang-ulang saya lakukan, keadaan juga tetap sama, anak-anak melanjutkan (bahkan) lebih lantang dan bersemangat:  "Dua...tiga!".

Aduh, bagaimana hasilnya nanti, kalau konfigurasi dan pose yang sudah susah payah dibangun menjadi berantakan hanya karena mulut-mulut mungil mereka bergerak-gerak  mengucap 'dua...tiga'.

Lesu. Saya hanya mendiamkan saja kejadian tersebut, takut mereka jadi kecewa. Hanya, di dalam hati, saya bertekad akan bekerja keras melakukan editan dengan berbekal puluhan kali jepretan, pilih-pilih mana foto anak yang bagus diambil, yang jelek saya buang.

Usai meringkasi alat, dengan gontai saya berjalan keluar ruangan. Sebelum sampai pintu, saya sempatkan menyapa murid-murid TK  itu yang  memang masih asyik berkerumun di lokasi pemotretan tadi:

"Nah, potret-potretan-nya sudah selesai ya... anak-anak. Sekarang Pakdhe pamit pulang ya.....!"

"Terima kasih Pakdhe!", teriak mereka masih serempak dan kompak seperti sediakala. Bedanya, kali ini ditambah dengan iringan tepuk tangan nan panjang serta meriah. Segala.


http://sastrombudeg.blogspot.com

Thursday 30 December 2010

Pindang Tulang 'Jujur'

 
Pindang tulang adalah masakan gulai berkuah khas Sumatera Selatan, yang hangat-hangat dimakan bersama nasi dalam sebuah mangkok. Kuahnya bisa bening seperti sop bisa juga kuning kunyit. Di dalamnya bersemayamlah bongkahan tulang sebagai menu utama, biasanya berupa engsel atau tempurung lutut kaki sapi atau kambing. Itulah mengapa disebut ‘pindang tulang’, karena memang menu tersebut hanya berisi kuah berbumbu plus tulang yang dipotong-potong dalam ukuran besar.

Meskipun bernama ‘pindang tulang’, ada juga penjual yang ‘tidak tega’. Saat mencacah tulang, masih disisakannya serpihan daging yang menempel pada tulang. Sedikit jadilah, namanya saja ‘pindang tulang’.

Pindang tulang dengan sedikit daging seperti di atas sangat disukai oleh para penggemarnya dan dinamai pindang tulang ‘tidak jujur’. Lho kok? Ini hanya selorohan saja. Maksudnya, namanya kan pindang ‘tulang’, tapi oleh si penjual kok dagingnya masih disertakan juga? Sungguh suatu ‘ketidakjujuran’ yang membuat kita tenggelam dalam kenikmatan kan? Untuk jenis pindang tulang seperti ini, kota Palembang lah sorganya. Para penjualnya tidak ‘pelit’ menyisakan serpihan daging pada tulang.

Tapi jangan khawatir, untuk Anda yang memang menomorsatukan ‘kejujuran’ pindang tulang, saran seorang penggemar masih bercanda, datanglah ke kota “X”. Di sini para penjual pindang tulang terkenal ‘jujur-jujur’. Artinya, tulang-tulang di mangkok Anda dijamin akan mulus tanpa daging yang menempel! Ya, paling adalah sedikit sumsum di dalam tulang untuk disedot-sedot atau pipihan tulang rawan biar berbunyi ‘kriyek-kriyek’.  Ya, disyukuri lebih baik, namanya saja pindang tulang! Nikmatilah kejujuran ala penjual di kota “X” tersebut dengan lapang dada! He..he…!

Masih pakai ‘tapi’, apabila Anda berdua dengan seorang kawan masuk di sebuah rumah makan khas pindang tulang dan kebetulan dengan kawan tersebut berbeda selera terhadap ‘jujur tidaknya’ si pindang tulang, supaya tidak terjadi keributan dengan kawan atau bahkan dengan penjualnya, maka jangan coba-coba memesan masakan tersebut dengan mengatakan kepada si penjual: “Buatkan pindang tulang yang 'sangat' tidak jujur satu porsi untuk saya dan pindang tulang jujur yang 'sejujur-jujur'nya satu porsi saja untuk kawan saya …!”



http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 18 December 2010

Anakku Mencatut Profilku!

Mendengar kakaknya yang bersekolah di luar daerah melapor ingin mengikuti les gitar klasik, adiknya (perempuan) pun ikut ribut ingin dibelikan gitar. Kami minta waktu satu bulan untuk mengabulkan permintaannya. Kas keluarga sedang kosong. Tapi dia tetap berkeras ingin dibelikan secepatnya.


Di siang, hari kedua setelah ribut, ketika ibunya masih di kota untuk belanja kebutuhan kios ATK-nya, kepadaku, anak perempuanku meminjam HP yang tergeletak di meja komputer dan membawanya pergi. Aku melanjutkan mengetik. Kami hanya punya dua HP murahan. Satu dibawa istri, dan satunya untuk di rumah. Anakku memang tidak kami beri dengan alasan sekuriti.


Sore, saat ibunya tiba di rumah dan barang belum diturunkan dari mobil, anakku sudah ‘sumringah’ menyambut kedatangannya. Sambil masuk rumah, istriku nerocos kepadaku, “Uang ludes…des untuk belanja barang, gitar pesananmu belum aku belikan!”
“Siapa yang pesan gitar? Aku nggak pesan kok!”Jawabku bingung.
“Tadi siapa yang SMS?” Istriku melanjutkan.
Aku menoleh kepada anak perempuanku. Ia merengut.
“Apa bunyi pesan SMS itu?” Tanyaku penasaran.
Ujar istriku kemudian, “Beli gitar, Luh!”


Aku tertawa. Anak perempuanku menangis. Dialah yang mengirim SMS itu dan langsung menghapusnya. Ia telah menyebut ibunya dengan kata ‘Luh’, nama kecil biasa aku memanggil istriku. Ia telah mencatut profilku!
http://sastrombudeg.blogspot.com