ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Saturday 7 April 2018

Dialog di Teras Istana antara Petruk dan Sengkuni

Sengkuni:
“Gimana, setelah tiga tahun berjalan? Enak to, Truk?“

Petruk:
“Iyaaaaaaa, huenak enan….huenak enan, heh...heh...heh...heh...heh…!“ (tawa khasnya terlepas, tak lupa bahunya terangkat-angkat)

Sengkuni:
“Mau maju lagi enggaaaaak?“

Petruk:
“Huenak enan….huenak enan!”
(senyum-senyum, sudut –sudut kamera – eh maksud saya, sudut-sudut matanya tak bisa menyembunyikan napsunya)

Sengkuni:
“E...kok malah cengar-cengir, mau enggaaaak…? Kalau nggak mau nanti kami kasih ke yang lain lhoooo…!“

Petruk:
“Eh jangaaaaan! Jangan! Tapiiii….., apa ya saya bisa jadi lagi?“

Sengkuni:
“Nah, aku tanya dulu, pintermu apa?“

Petruk:
“Mangsud Pakde Sengkuni?“ (sambil bertanya begitu, jari telunjuk kirinya mengibas seliwir rambutnya ke atas agar minggir dari jidat)

Sengkuni:
“Skillmu apa? Keahlianmu apa? Talentamu apa? Ente punya hobi andalan apa?“

Petruk:
“Oooh, bakat to? Kehebatan saya to? Wow, banyak! Ya, saya pinter kementhusan (banyak gaya sok tahu sok berani), pinter ngibul, terus apa lagi ya…., nah ini, saya juga ahli ndagel (melawak) heh...heh...heh...heh...heh…!“ (lagi-lagi tawa khasnya terlontar selontar-lontarnya hingga gusi atas yang kehitam-hitaman itu terekspos dengan sempurna, tak ketinggalan, pundak pungkringnya terguncang-guncang hebat seperti skubidu ketakutan melihat kain sprei putih terbang melayang-layang)

Sengkuni:
“O, dasar aslimu punakawan ya mau sampai di ujung Afganistan pun tetap punakawan! Tapi ya sudah, itu saja! Ndagellah sepuasmu sesuai improvisasimu. Tapi ingat! Kalau pidato kamu harus pakai teks lho ya, jangan seperti kemarin, karena blank, ditanya wartawan kamu malah a’u’a’u’…!“

Petruk:
“Lha tapi kan malah jadi ger-geran to? Ya ndak... ya...ndak..., heh...heh...heh...heh...heh…!”

Sengkuni:
“Husssst! Diam dulu!“

Petruk:
“Huenak enan….huenak enan!”
(tangan kanannya meraih handphone yang tergeletak di atas mejanya, diam-diam mengangkatnya tinggi, dan meringislah dia sambil memandang lensa kamera handphone, cekrek!)

Sengkuni:
“Hei...hei! Kalau sedang dibreafing itu diperhatikan! Jangan selfi melulu kau! Cemana pulak kau ini!" (ssssttttt!, akhirnya keluar juga logat asli si Sengkuni, tetapi dia masih berusaha sabar menghadapi segala tingkah polah boneka hidupnya itu)

Petruk:
“Oh, maaf ... maaf! Huenak enan….huenak enan!”

Sengkuni:
Nah, kita lanjutkan! Kalau kawulamu masih belum upgrade nalar politiknya, maksudku, mereka masih seperti yang dulu, menganggap memilih raja sama dengan mengikuti polling cari artis terfavorit di televisi, maka kamu pasti akan jadi lagi! Pasti jadi! Seluruh lini akses sangat kita kuasai. Pasti kamu jadi! Seterusnya, kalau kamu jadi lagi yaaaa … seperti biasalah, hal-hal yang berat menyangkut urusan kerajaan, serahkan semua kepada kami. Pasti beres. Yang penting, kamu bisa njagong duduk di singgasana, terus bisa blusukan untuk potong-potong pita peresmian proyek-proyek yang belum jadi itu, bagi-bagi sepeda, bagi-bagi sertifikat, latihan tinju, momong burung, miara cebong di kolam cethek dan buthek, lempar-lempar souvenir pakai tangan kiri dari dalam mobil, lempar-lempar sekop juga, semua tidak ada yang ngelarang! Pokoknye suka-suka ente dah....!"

Petruk manggut-manggut . Wajah polos dan lugunya menyemburatkan kesukacitaan. Sempat terlintas dalam pikirannya, kalau saja tahu dari dulu bahwa jadi raja itu gampang dan enak seenak kayak gini, sejak ceprot keluar dari rahim bunda pun aku sudah mau dijadikan raja…! Huenak enan….huenak enan!


http://sastrombudeg.blogspot.com