ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Thursday 30 December 2010

Pindang Tulang 'Jujur'

 
Pindang tulang adalah masakan gulai berkuah khas Sumatera Selatan, yang hangat-hangat dimakan bersama nasi dalam sebuah mangkok. Kuahnya bisa bening seperti sop bisa juga kuning kunyit. Di dalamnya bersemayamlah bongkahan tulang sebagai menu utama, biasanya berupa engsel atau tempurung lutut kaki sapi atau kambing. Itulah mengapa disebut ‘pindang tulang’, karena memang menu tersebut hanya berisi kuah berbumbu plus tulang yang dipotong-potong dalam ukuran besar.

Meskipun bernama ‘pindang tulang’, ada juga penjual yang ‘tidak tega’. Saat mencacah tulang, masih disisakannya serpihan daging yang menempel pada tulang. Sedikit jadilah, namanya saja ‘pindang tulang’.

Pindang tulang dengan sedikit daging seperti di atas sangat disukai oleh para penggemarnya dan dinamai pindang tulang ‘tidak jujur’. Lho kok? Ini hanya selorohan saja. Maksudnya, namanya kan pindang ‘tulang’, tapi oleh si penjual kok dagingnya masih disertakan juga? Sungguh suatu ‘ketidakjujuran’ yang membuat kita tenggelam dalam kenikmatan kan? Untuk jenis pindang tulang seperti ini, kota Palembang lah sorganya. Para penjualnya tidak ‘pelit’ menyisakan serpihan daging pada tulang.

Tapi jangan khawatir, untuk Anda yang memang menomorsatukan ‘kejujuran’ pindang tulang, saran seorang penggemar masih bercanda, datanglah ke kota “X”. Di sini para penjual pindang tulang terkenal ‘jujur-jujur’. Artinya, tulang-tulang di mangkok Anda dijamin akan mulus tanpa daging yang menempel! Ya, paling adalah sedikit sumsum di dalam tulang untuk disedot-sedot atau pipihan tulang rawan biar berbunyi ‘kriyek-kriyek’.  Ya, disyukuri lebih baik, namanya saja pindang tulang! Nikmatilah kejujuran ala penjual di kota “X” tersebut dengan lapang dada! He..he…!

Masih pakai ‘tapi’, apabila Anda berdua dengan seorang kawan masuk di sebuah rumah makan khas pindang tulang dan kebetulan dengan kawan tersebut berbeda selera terhadap ‘jujur tidaknya’ si pindang tulang, supaya tidak terjadi keributan dengan kawan atau bahkan dengan penjualnya, maka jangan coba-coba memesan masakan tersebut dengan mengatakan kepada si penjual: “Buatkan pindang tulang yang 'sangat' tidak jujur satu porsi untuk saya dan pindang tulang jujur yang 'sejujur-jujur'nya satu porsi saja untuk kawan saya …!”



http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday 25 December 2010

Remunerasi

(aku latah, mari terbahak bersamaku! ketika diberikan bukan berdasar perbaikan moral kesejahteraan, tapi lebih karena kebobrokan mental pelayanan)

saat pengabdian bukan lagi sebuah panggilan
(hanya menjadi pereda barisan pengangguran)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat profesi bukan lagi sebuah pilihan
(hanya menjadi batu loncatan keluar dari kesempitan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat risiko bukan lagi sebuah tantangan kepahlawanan
(akibat sejarah banyak yang diplintirkan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat amanat bukan lagi sebuah beban
(karena agama hanya dianggap sebatas departemen kedinasan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat jabatan dan pangkat bukan lagi sebuah penghargaan
(karena hanya ditujukan sebagai ladang penghasilan
bawahan dikebiri sebagai pelayan dan disapiperahkan
naik pangkat dengan segepok uang)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat nama baik bukan lagi sebuah kebanggaan dan kehormatan
(karena nama buruk cepat dilupakan dan termaklumkan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat hukum bukan lagi sebuah norma keadilan dan pengayoman
(karena keadilan hanya milik orang duitan dan tak ada contoh dari atasan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat ketulusan bukan lagi sebuah kenikmatan
(karena keikhlasan hanya dianggap sebagai barang langka dan kemunafikan)
saat itu pula gaji harus diremunerasi!
(ketuk palu)

saat remunerasi dipandang sebagai sebuah keharusan bagi mereka,
(ketuk palulah! ketuk-ketuklah!)

(mari terhanyut bersamaku!)

rakyatku!
bagi kalian yang tak berpenghasilan tak bergaji!
tak usahlah berharap terjadi remunerasi pelayanan terhadap kalian
tak usahlah lalu gigit jari dan tetaplah mengaji,
mari kita ke surau milik wak haji untuk berdzikir , bertasbih, atau berdzanzi
sedekahilah mereka dengan remunerasi rampasan hak-hak kalian
sedekahilah mereka dengan kekhusukan Istigfar kalian
sedekahilah mereka dengan keserahan Tahmid kalian
sedekahilah mereka dengan kebiusan Tasbih kalian
sedekahilah mereka dengan ketakziman Al Fatikah kalian
sedekahilah mereka dengan kekayaan Al Ikhlas kalian
sedekahilah mereka dengan kemahaan Allah kalian!
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un....

http://sastrombudeg.blogspot.com

Friday 24 December 2010

Ramah Tamah di Balai Kota

(usai upacara bendera tujuhbelasan di halaman depan balai kota)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
sebuah puisi
terinspirasi dari sebuah foto seorang veteran
yang tengah makan nasi bungkus di pinggir taman
seusai mengikuti upacara bendera tujuhbelasan
entah karya siapa foto itu , terima kasih
telah memberi bahan pemikiran

------------------------------------------------------------------------------------------------------

tibalah sesi ramah-tamah para pejabat dan tamu undangan.
seperti suasana pulang menang perang,
masing-masing berlaku anggun bak james bond.
berjas-dasi dan tawa-tiwi,
pin aneka medali bergelantungan tersemat di saku kanan-kiri,
termasuk mungkin didapat dari beli di senen-tak perduli,
ahai, memegang gelas berleher angsa saja seperti banci!

sementara itu, pak tua sang veteran sejati
tengah asyik menggelontor tenggorokannya dengan air mineral gelas plastikan,
duduk sendiri di emper parkir belakang mobil-mobil mereka ....

pak tua saksi pelaku sejarah palagan ambarawa,
pemegang hak pengena bintang gerilya yang juga telah hilang entah di mana,
kegerahan dengan seragam legiun kebanggaannya,
sepasang setelan hijau tua plus peci oranye itu hanya dikenakan dua kali dalam setahun (untuk upacara bendera hut ri dan hari pahlawan, dan biasanya ia turut tegak berdiri di barisan peserta, sementara para pejabat, perwira tentara dan polisi, tamu undangan, tak ketinggalan para pengusaha keturunan yang berjasa sebagai sponsor acara, tak ada sungkannya turut duduk di tribun utama).

tapi meski bangga dengan seragam legiun yang biasa tersimpan di kopor butut berdebu di kolong dipan reotnya, 
jujur ia lebih nyaman dan merdeka berkaus oblong jamuran,
terasa semriwing melekat di kulit sepuhnya....

ia hadir di lapangan upacara karena undangan resmi dari panitia tujuhbelasan yang dibawa pesuruh kantor kelurahan kemarin lusa. ia bangga. jelas bangga mendapat undangan mengikuti upacara bendera tujuh belasan di balai kota. serasa jerih payah para pejuang dihargai oleh bangsanya. cukup segitu saja kiranya, tak usah berpikir tentang kesejahteraan di sisa hidupnya, apalagi remunerasi baginya (aku latah lagi).

selanjutnya, para pejabat dan tamu digiring ke ruang lainnya,
di meja telah tersaji aneka hidangan lezat yang jelas khas bukan makanan zaman perang, persantapan basa-basi pun dimulai, masing-masing bersikap kaku karena harus menjaga tabiat sepersis priyayi. memegang sendok saja seperti memegang tahi,  jari jemari ‘cekithingan’. antara memegang dan hendak dilepaskan. penuh kehati-hatian menyuap nasi ke mulut yang terbuka hanya dua puluh lima persennya saja. gigi jangan coba-coba terlihat  tamu lainnya. konon, itulah etika resepsi makan bersama yang biasa diajarkan di  akademi calon perwira dan kursus-kursus calon pejabat negara.

di saat yang sama,  di pembatas antara parkiran dan taman di bawah pohon palem bunting, duduklah sang veteran sejati sambil menyantap nasi bungkus dengan nikmatnya,seperti menemu kelangkaan menu yang tak pernah tersaji di meja pojok dapur bedeng kontrakannya. sendok bebek plastik itu meleot, sungguh susah menggiring butiran nasi dan sambal goreng hati ke dalam mulut keriputnya.

acara seremoni dan basa-basi bubarlah sudah,
mesin mobil-mesin mobil telah dinyalakan, ac dihidupkan, para sopir pribadi dan dinas tegak takzim di samping pintu mobil yang terbuka ....

belum ada separo nasi bungkus berpindah ke perutnya, sang ajudan pak wali mengusir dengan halus agar pak tua keluar dari area. harus steril katanya. apa boleh buat, ....
sang eks gerilyawan itu pun tahu diri dan kaya akan permakluman. kemerdekaan adalah laman mandiri yang harus diperjuangkan. kemerdekaan adalah kotak-kotak tabula yang berlainan rasa dan harga, termasuk penempatannya. kemerdekaan memang bukan hadiah dari penjajah, apalagi dari pak walikota yang dalam pilkada lalu ia juga turut mencontreng fotonya!

dalam terik itu, yang terbenak bukanlah kesakithatian, tapi bayangan situasi ketika ia harus tertatih-tatih menyingkir dari sebuah tebing di tepi jalan raya antara bedono dan ngampin. kaki kanannya tertembus pecahan mortir brigade musuh.

dengan sisa kegagahannya,
sang veteran perang itu terseok, patah-patah melangkah pulang ke bedeng kontrakan,
sepasang sol sepatu milik pelanggan
hari ini harus dituntaskan....



(Catatan pribadi tentang foto ini)
aku kesal bila teringat ini!
di mana konglomerat-konglomerat itu? pengeruk ekonomi negeri yang turut diperjuangkan Bapak ini bersama kawan seperjuangan beliau?

merekakah kini yang jadi kaki tangan cina menjadi distributor produknya? membuat/memasukkan barang-barang yang tidak bermutu, barang-barang palsu untuk dicekokkan ke rakyat republik ini? di manakah ayah dan kakek mereka saat masa perjuangan dulu?

o…, dari catatan sejarah, ternyata mereka sibuk berbisnis dengan penjajah serta turut mencekik rakyat pribumi yang tengah sekarat! ketika kita merdeka, mereka juga sibuk berbisnis dengan para penguasa negeri ini. Tak terlintas di kepala mereka untuk tulus bersahabat dengan para pribumi! mereka hanyalah kaum oportunis sejati, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu malu! mereka hanyalah orang-orang pengabdi uang! mereka itulah orang-orang yang menjadi akar korupsi negeri ini! tidak bisa dipercaya sampai kapan pun. tak ada INDONESIA RAYA di dada mereka!
indonesia, tanah air siapa ....
wahai pribumi bangkitlah. bangkitlah dengan jaringan-jaringan ekonomi kerakyatan kalian sendiri. bahu-membahulah untuk ekonomi kalian! tak ada keberpihakan dari lain pihak terhadap kalian. yang ada adalah kepentingan! kepentingan untuk memperlebar jaringan bisnis dan keturunan mereka sendiri! kepentingan memproyekkan dan melelang  kalian dari para pemegang kebijakan!

aku kesal bila teringat dan melihat ini!
 
mungkin karena negeri ini bernama indonesia ….

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 22 December 2010

2009

badai tak terbenak
menyingkir dari puisi
lantak
hilang kata

http://sastrombudeg.blogspot.com

Sajak Perkabungan

 
aku tidak tahu engkau datang
sebab sesisir mega pun tak terbayang
dan puisi itu kutinggalkan di atas tungku
membiar dilalap api

asap yang kubenci
menggenang di dada sebelah kiri
mengendap
meresidu perjalanan jauh
titik terjauh yang tak mampu kutempuh!

http://sastrombudeg.blogspot.com

Kepada Sastrogambleh!

engkau bapak bagi yang membapakkanmu
engkau citra bagi yang mencitrakanmu
tapi kau bukan narsis!

di usia ini Nabimu diangkat menjadi Rasul Allah
adakah engkau berani menjadi rasul bagi dirimu sendiri
merasuli ketambahbaikan akhlak
merasuli ketambahbaikan iman
merasuli ketambahbaikan kebapakanmu dan kesuamianmu

engkau selalu saja menunggu momentum, tak mencarinya, atau bahkan tak menentukannya
atau hanya akan berlalu seperti ultah ketujuhbelastahunan
tuang, hingar, dan hilang!

http://sastrombudeg.blogspot.com

Serenade V

bila mahligai ini adalah sebuah kapal,
kami ingin ia setangguh pembelah karang. tiupkanlah angin buritan, agar laju mengarus menjiwa. kalaulah terjemput badai taufan, janganlah menjadi tamparan yang menenggelamkan. mohon jadikan ia pandu dalam lenting keseimbangan yang memudahkan. bilalah terlabuh pada hampar pantai penghabisan, kami ingin bertenang, murni, mengindahkan lafal agung-mu.



http://sastrombudeg.blogspot.com

Serenade IV

mengapa kita berpencar mencari kecerobohan diri
sedang di lautan telah datang badai penghabisan
tapi di luar jendela, telah terbakar hati
entah siapa yang menyalakannya
mungkin karena ketimpangan yang telah menjadi tetanus
sistemik
mendarah
membuih
membubung tinggi
pucuk-pucuk kelapa bermatian

seperti pecundang
awan melayang
renggang
lalu buyar terbungkam

kita lalu jadi terperangah menyaksikan aneka kejadian
yang hanya menyisakan isak tak berkesudahan

akankah bila terlanjur pecah
hati kita masih dapat disatukan
padahal tamparan-tamparan terlanjur pula saling menyakiti

momentum apalagi yang hendak kita ciptakan
untuk kita tunggu kesekian lama lagi?

di mana mercusuar-marcusuar itu
yang menjadi rambu bagi kapal-kapal pikiran
yang hendak berlabuh pada pantai yang salah
tempat burung-burung camar nan lelah,
disantap ular-ular sang pemangsa

http://sastrombudeg.blogspot.com

Siluet ke Berapa?

sejujurnya
ini adalah kejujuran yang jujur tak ingin kujujurkan
sebab zaman telah tua
begitu rentanya

sejujurnya
ini adalah kejujuran yang tak jujur aku lakukan
sebab waktu yang begitu pendek
untuk menjelaskan arti kejujuran yang jujur tak kujujurkan

sejujurnya
ini adalah kejujuran yang terbekap dalam sekat

http://sastrombudeg.blogspot.com

Konserto Persinggahan I-II

(tentang peron kecil sebuah stasiun kecil-versi satu)

sinyal-sinyal telah diaktifkan
kereta itu datang
terlambat seperti sediakala

peron kecil sebuah stasiun kecil
gerimis desember seperti tahun lalu
malam lengang terasa ada yang dimabukkan

persinggahan kecil di sebuah stasiun kecil
seorang perempuan muda,
dalam-dalam terakhir menghisap sigaret putihnya
diam-diam lalu menginjaknya

tak ada sapa kepada siapa
di pintu gerbong, begitu saja ia hilang terkatup
selamat jalan!

ruang-ruang kembali kosong di seberang jauh
malam mengeras
kesunyian menyelidik
di peron kecil sebuah stasiun kecil
sebuah buku gibran tergolek di bangku panjang

angin mengencang
bola lampu 18 watt meremang dikerubut laron-laron
sayap-sayap yang bergeletakan di lantai granit kusam
adalah kurung buka bagi keasingan sebuah sajak
seorang tua penjaga malam stasiun kecil
terkantuk-kantuk dengan peluit di bibirnya
ia tak berharap kereta itu datang kembali
buku ‘cinta yang agung’ gibran,
erat terdekap

















(tentang peron kecil sebuah stasiun kecil-versi dua)

tenang-tenang,
aku akan naik kembali
begitu peluit sang penjaga stasiun kecil dilengkingkan
ruang tunggu peron kecil sebuah stasiun kecil
kuharap tak ada yang tertinggal di sini
selain jejak, yang di kemudian hari juga pasti disapu kembali
atau tertutup debu-debu setelahnya

baik-baik,
aku akan kembali duduk di bangku penumpang
di gerbong tua karatan, berbercak-bercak sisa muntahan
tak juga akan kutoleh peron kecil itu sekali lagi
dari jendela kaca pecah seribu bekas lemparan batu gelandangan
sekalipun sunyinya utuh bisu menyeringai

baik-baik,
aku akan pergi dari sini
kutitip buku gibran dengan sampul terkoyak
boleh saja teronggok bisu di bangku itu untuk selamanya
tak perlu ada yang merasa memilikinya
siapa saja boleh baca
menyibak satu-dua, lalu tinggalkan sekenanya

keabadian yang kujelang
adalah kematian penutup perjalanan



http://sastrombudeg.blogspot.com