ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Wednesday 8 December 2010

Mengapa Pentas Wayang lalu Menjadi Sarkas?

http://sastrombudeg.blogspot.com

Wayang sebagai bagian seni pentas, baik itu wayang orang, kulit, ataupun golek, yang dalam perkisahannya identik dengan fragmen-fragmen Ramayana dan Mahabarata, dari waktu ke waktu berada dalam rel dinamika penyikapan terhadap lingkungan dan budaya yang men’zamani’nya.

Kiranya salah besar apabila kemudian terjadi polemik tentang pergeseran nilai-nilai kewayangan, sebagaimana pernah terjadi pada dekade delapan puluhan sampai sembilan puluhan. Para budayawan Jawa (dari berbagai kalangan) gagal mencapai kesimpulan dan membuat formula bagaimana cara ‘mengunci’ wayang di dalam satu kotak pandora bernama “pakem’. Bagaimana seni pewayangan menjadi benda pusaka suci yang tidak boleh disentuh oleh peradaban selanjutnya. Wayang harus ‘seolah-olah’ menjadi saksi bisu suatu ‘kemandegan’ proses berbudaya suatu bangsa.

Saat itulah, dalang-dalang, para sinden, dan niyaga dituntut berperan sebagai mayat-mayat yang bangkit dari kubur: anyir, kaku, bisu, dan pucat. Dan penontonnya pun dapat dipastikan hanyalah orang-orang yang bernyali untuk duduk bersila di atas tikar penonton di balik 'geber' (layar) sampai kokok ayam jantan di subuh buta menyadarkannya.

Untung, masyarakat pecinta dan pelaku dalam pentas-pentas wayang jalan terus dan tidak perduli dengan kertas kerja-kertas kerja mereka. Masyarakat yang terintegrasi dalam kehidupan dan penghidupan di dalam pentas-pentas wayang tidak 'mood' dengan idiom-idiom pewayangan hasil rekayasa para pengamat atau budayawan.

Salah satu pemicu ‘kegelisahan’ para budayawan saat itu adalah Ki Nartosabdo. Dalang yang besar di Semarang itu pada tahun tujuh puluh-delapan puluhan mengemas wayang menjadi ‘pakeliran padhet’. Pementasannya tak lebih dari lima-enam jam, beda dengan wayang sebelumnya yang bisa mencapai dua belas jam! Lebih ekstrim lagi, bekas muridnya, Ki Manteb Soedarsono, yang bahkan bisa (baca: berani) melakukan pentas hanya untuk waktu tayang dalam hitungan di bawah satu jam saja!

Sesungguhnya, yang terjadi kala itu hanyalah ekspresi rasa kekhawatiran terhadap pergeseran nilai-nilai orisinalitas wayang. Ada yang ‘dipaksakan’ untuk dilupakan bahwa wayang mempunyai sejarah kreatif dan berasal dari suatu proses yang membutuhkan kurun waktu hingga terbentuk menjadi seperti sekarang ini.

Ada kehendak sebagian budayawan untuk membakukan (mem’pakem’kan) wayang. Mereka lupa bahwa kondisi kita saat ini seringkali tidak pas untuk menjadi penonton wayang model baku dan ‘orisinal’ seperti yang mereka inginkan. Mereka sengaja mencoba dan berusaha memuntir fakta sejarah bahwa awal sebuah wayang adalah juga bukan bersumber pada sebuah orisinalitas. Karena sebagian komponen di dalamnya terdapat barang impor dari India (kisah Ramayana dan Mahabarata), yang bahkan juga tidak pernah dipersoalkan oleh masyarakat Hindu India sebagai sebuah ‘pembajakan’.

Dari situ, maka sebagai langkah ‘damai’ antara pihak yang propakem (idealis) dan pihak pelaku seni pewayangan propasar (realistis), dibuatlah bermacam-macam karakter pementasan wayang; wayang klasik, wayang pop, wayang popndut, dan sebagainya. Semua tinggal mana selera kita.

Kritik Sosial pada Pementasan Wayang

Seperti halnya pada seni sastra, seni rupa, seni musik, dan seni pertunjukan lainnya, wayang secara terus-menerus juga melahirkan kreativitas baru dan dinamis sebagai bentuk penyikapan terhadap laju peradaban manusia. Seni tidak bisa lepas dari peradaban manusia. Peradaban manusia tidak bisa lepas dari seni.

Kritik-kritik sosial dan ‘pemberontakan’ terhadap suatu keadaan tertentu yang mengganggu nurani humaniora seringkali lahir dan diungkapkan melalui seni. Wayang dengan bijaksana telah meletakkan ruang ‘mimbar rakyat’ dalam ‘pakem’ pementasannya melalui Punakawan dan Limbuk yang eksis di sesi ‘Goro-goro’ . Sebuah sesi yang selama ini dianggap sebagai sesi yang tidak penting dan hanya menjadi embel-embel pencegah kantuk. Biasanya muncul setelah jam dua belas malam.

‘Mimbar rakyat’ tersebut pada tengah dekade sembilan puluhan telah digarap lebih ‘berani’ dan diberdayakan oleh para dalang senior yang telah sampai pada puncak ‘kekesalan’ terhadap perilaku rezim Orde Baru. Pemberdayaan sesi ini pada kenyataannya seringkali justru ditunggu para penikmatnya, lebih nge’pop’ mengalahkan jalan cerita utama.

‘Mimbar rakyat’ tak melulu ‘guyon maton’ (asal humor), tapi digarap sebagai arena melontar kritikan. Bahwa seni pewayangan ber’roh’kan ajaran dari kitab Ramayana dan Mahabarata dan notabene berisi tuntunan hidup (hitam-putih, baik-buruk, jujur-bohong, adil-curang, dan lain sebagainya), ternyata dianggap tidak mempan lagi sebagai suluh pengembali nurani kebenaran dan keadilan yang di belakangnya berlaku ‘karma hasil perbuatan’.

‘Mimbar bebas’ ala wayang telah menjadi ruang untuk memuntahkan ‘kemarahan moral’ sang dalang. Dikemas dalam bahasa ‘rakyat’ dalam suasana ‘rakyat’ pula. Jiwa rakyat diserapnya, dihayatinya, direfleksikannya, dan diletupkan sedemikian rupa dalam bahasa kritik yang sungguh me’nyudra’. Tak heran bila di mana-mana menuai aplus dan ‘ger’ dari segala lapisan masyarakat penikmat wayang. Para pejabat pada saat itu pun juga turut hanyut dalam arus ger-geran, tak sadar bahwa mereka juga menjadi salah satu sasaran tembaknya.

Menjelang Reformasi 1998 dan sesudahnya, adalah Ki Manteb Soedarsono, sebagai salah satu motor gerakan ‘mimbar bebas’ ala wayang. Lugas, cerdas, dan sarkas. Tentang ini, penulis yang berada di daerah transmigrasi saat itu, memonitor pentas-pentas Ki Manteb Soedarsono melalui  RRI Pusat Jakarta yang tiap malam Minggu menyiarkan secara live pentas wayang kulit diselang-seling dengan wayang golek.

Telah lazim bahwa pentas wayang sebelum genre Ki Nartosabdo merupakan pengabdi kesantunan tutur tradisi Jawa yang penuh perlambang dan pesan-pesan luhur. Wayang sebagai media komunikasi yang berisi tuntunan penuh filosofi Jawa relatif terjaga. Namun di tangan Ki Manteb Sudarsono, monotonitas seperti di atas serta merta bisa raib dan berubah menjadi dramatis, sarkas, ‘nyelekit’, dan ekspresif (dari sebuah sumber, dramatika pewayangan menjadi roh yang memikat semenjak Ki Nartosabdo memperoleh pembelajaran dari dalang Ki Wignyo Sutarno).

Wayang adalah wayang. Dalang tetaplah pengendalinya. Idealisme lakon seakan-akan menjadi hak mutlak sang dalang, di luar standar minimal agar sebuah wayang kulit tetap disebut pementasan wayang kulit. Sudah barang tentu.

Penulis bukanlah orang yang paham dengan dunia wayang. Maka mohon dimaafkan bila terdapat kekeliruan dalam penganalisaan sejarah wayang. Penulis tergoda untuk menulis ini, karena setahu penulis, bahasa tuntunan dalam pementasan wayang ‘klasik’ cenderung halus dan terjaga kesopanannya, yang pada awal-awal Reformasi 1998 hingga sekarang terasa berubah menjadi ‘binal’ dan ‘liar’.

Mungkinkah zaman yang menghendaki demikian?

Para pemimpin, pemegang otoritas politik, hukum, ekonomi, pendidikan, serta agama seakan ‘budeg’ dan ‘ndableg’. Atau bahkan ‘menantang’! Pendek kata, dengan tuntunan halus (sindiran) ala wayang ‘klasik’ sudah tidak mempan. Maka sarkasme sang dalang genre sekarang agaknya tak bisa disalahkan.

Bila itu juga tidak mempan?

(kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini akan diperbaiki bila waktu telah memungkinkan)

Sunday 5 December 2010

Belajar Kedisiplinan pada Seorang Penjual Roti Bakar


http://sastrombudeg.blogspot.com

Dua minggu yang lalu saya ikut kawan pergi ke kota dengan menumpang mobilnya. Saya hendak mencari travo baru untuk mengganti travo mesin fotokopi kami yang terbakar (sudah tiga kali ganti dalam enam bulan terakhir-mungkin karena dari PLN voltagenya terlalu rendah (160 V) dan tidak stabil). Sementara kawan saya bermaksud membeli bensin untuk dijual kembali di kiosnya. Tiga jerigen kapasitas 40 liter teronggok di kabin bagian belakang APV-nya. Sudah tiga minggu ini bensin langka di daerah kami.


Saya telah mendapatkan travo dari tukang servis fotokopi kami. Si kawan tidak berhasil mendapatkan bensin di SPBU. Tidak punya surat izin!

Hari telah senja ketika kami sepakat pulang. Saat di depan mini swalayan, mobil menepi dan berhenti di seberangnya. “Cari oleh-oleh untuk Rico!”,  ujarnya menyebut nama anak kesayangannya sambil membuka pintu mobil. Saya pun menurut.

Saya membuntut saja, sebuah gerobak bertuliskan "Roti Bakar Bandung" menjadi tujuannya. Segera ia memesan sesuai selera. Saya juga. Kami menunggu pesanan sambil duduk di bangku panjang yang disediakan.

Dalam 'masa tunggu' itu, saya berada dalam kegelisahan yang amat sangat. Saya kagum kepada si anak muda penjual roti bakar itu. Dengan sangat cekatan, runtut, dan tertib, dia melakukan aksi ritual 'pembakaran roti'.

Di mulai dengan mengambil roti tawar, buka belahan roti, oles bahan isian sesuai pesanan, bakar, colak-colek dan bolak balik di pemanas (sembari membakar roti, ia lakukan pekerjaan sesuai urutan pertama untuk pesanan berikutnya), angkat, letakkan tepat di tumpukan kertas pembungkus, potong-potong, bungkus, ikat karet. Selesai. Lanjutkan roti berikutnya.

Begitu seterusnya.

Tak terasa, saya keasyikan melihat cara kerja si anak muda itu. Semua kebutuhan bahan dan alat produksi disusun sedemikian rupa sesuai urutan proses produksinya, jangkauan tangan terukur serta imbang dengan kerja pengawasan menggunakan mata. Saya menyadari, ini adalah suatu proses produksi yang sangat sederhana. Sangat sederhana. Tak bolehkah diapresiasi sebagai contoh bagi saya bahwa begitu penting arti kedisiplinan dalam suatu pekerjaan? Pekerjaan apa saja.

Begitu seterusnya.

Saya lalu teringat dengan proses pelayanan dan produksi pada kios tempat penjualan alat tulis kantor dan fotokopi milik kami yang dikelola istri. Semua serba semrawut.

Semrawut.
Begitu seterusnya ….

Bukan cuma sekali-dua kami berdebat tentang arti efisiensi dan efektivitas pada suatu proses produksi. Bagaimana cara meringankan kerja tangan dan mata atau anggota tubuh yang lain dalam suatu proses pekerjaan, bagaimana dalam waktu yang sama bisa menyelesaikan dua atau tiga pekerjaan sekaligus tanpa kerepotan, ngos-ngosan, dan 'gedubrakan', misalnya.

Pernah suatu kali, seseorang bermaksud melaminasi selembar ijazah SD-nya, yang karena suatu keperluan, barang itu ditinggal dulu dan akan diambil keesokan harinya. Apa lacur? Pagi harinya, ketika orang tersebut datang hendak mengambil orderannya, barang dokumen berharga itu tak berhasil kami temukan!

Laci-laci, tumpukan kardus, kertas-kertas dalam kantong sampah dibongkar lagi. Tidak ketemu! Pokoknya wang-wing-wung kardus dan kertas bekas dilempar sana-sini. Untung, uang di dalam laci tidak turut kami hambur-hamburkan.

Mulailah saling tuding dan saling menyalahkan. Muka istri saya dan 'pegawai'nya (seperti toko besar saja) terlihat pucat pasi. Kami stres berat. Untung (untung lagi) si tuan ijazah tidak menunjukkan kemarahannya. Dia sabar dan memaklumi (siapa tahu isi hatinya?).

Akhirnya si tuan ijazah itu pulang dengan tangan hampa. Kami berjanji bertanggung jawab menggantinya dengan ijazah pengganti bila masih tidak diketemukan.

Dua hari-tiga hari lewat. Ijazah itu tak tahu rimbanya. Itu artinya kami harus bersiap menanggung pengurusan ijazah pengganti yang konon harus mengikuti proses birokrasi yang cukup rumit. Mulai dari lapor ke polisi ... hingga mengurus sampai dinas pendidikan provinsi. Serasa byar-pet mata saya. Marah dan marah yang ada. Saya memang menyerahkan pengelolaan usaha itu kepada istri sembilan puluh persen. Saya sendiri ada usaha lain ….

Pada hari keempat kehilangan ijazah, pagi-pagi muncul seseorang tak dikenal dan mengulurkan  selembar ijazah yang diambil dari dalam tasnya. Itu dia yang kami cari! Ijazah SD tersebut terbawa olehnya saat melaminasi kartu keluarga! Wuah. Lega rasanya.

Kembali ke penjual  roti bakar. Bisa dibayangkan apabila si penjual tidak berdisiplin dalam menjalankan usahanya tersebut. Penempatan karet gelang (sekedar karet pembungkus!) di letakkan tepat di depan jidat. Pisau pengerat roti terletak di laci atas di samping paku penempat karet gelang tadi. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Itu adalah bagian dari pelayanan konsumen agar efisien dan cepat. Kadang kala para pelanggan bisa saja menumpuk antri. Sangat sulit dibayangkan bila penjepit roti 'pengentas' dari pemanas hilang atau ketlingsut terbawa oleh pembeli yang usai bayar langsung kabur! Atau menunjukkan ‘ketidakprofesionalan’ dengan berkata “Aduh, di mana ya soled saya taruh tadi?” atau “Maaf  Bu, Ibu lihat tumpukan karet di situ tidak?”

Ya, sekali-lagi sederhana. Sederhana sekali. Tapi awal dari kedisiplinannya, pastilah ada orang yang telah memikirkannya sebelum dia, bagaimana cara melakukan pekerjaan dengan nyaman, efisien, dan menyenangkan dan enak ditonton.

Sungguh suatu kebrilianan kecil yang tak terpikirkan oleh saya. Sebelumnya.

Saturday 20 November 2010

Aksi Perduli Korban Bencana Alam oleh OSIS SMAN 7 OKU


Tepat pukul 10.20 WIB, Jumat, 19 Nopember 2010, bertempat di Bank Sumselbabel  Cabang Baturaja Kantor Kas Peninjauan, Jalan Pasar Minggu Peninjauan Kecamatan Peninjauan Kab. OKU Provinsi Sumatera Selatan, telah dilakukan pengiriman (transfer) uang sebesar Rp 10.026.000,00 (sepuluh juta dua puluh enam ribu rupiah).ke rekening 0206-01-003277-30-1 BRI Sudirman Jakarta Pusat atas nama Global TV Peduli.

Uang tersebut di atas berhasil dihimpun oleh OSIS SMAN 7 OKU melalui relawan PMR, Pramuka, serta Rohis, dan berasal dari keluarga besar SMA Negeri 7 OKU ditambah sumbangan dari sebagian anggota masyarakat Kecamatan Peninjauan, untuk disalurkan kepada para korban bencana alam yang terjadi di beberapa bagian wilayah tanah air.


(ket. gambar: saat penghitungan uang 
sumbangan di SMAN 7 OKU)



Dalam pada itu, Ketua OSIS Ahmad Shoim didampingi pembina OSIS SMAN 7 OKU, Febri Anthoni, S.Pd., mengatakan bahwa aksi door to door penggalangan dana masyarakat yang  melibatkan para pemuda dan remaja masjid di desa-desa tersebut, dimaksudkan sebagai  upaya ‘jemput bola’ atas niat anggota masyarakat menyisihkan sebagian rezekinya untuk disumbangkan bagi para saudaranya yang terkena musibah tetapi tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya.

Selanjutnya Ahmad Shoim berharap agar aksi yang telah dilakukan tersebut dapat dijadikan momentum untuk pembentukan satgas bencana alam di tingkat sekolah, desa, dan Kecamatan Peninjauan, sehingga niat tulus anggota masyarakat dalam Kecamatan Peninjauan dan sekitarnya untuk membantu sesama yang tengah dilanda kesusahan dapat disambut dan diakomodir secara cepat, tepat, dan amanah.

 




(ket. gambar: acara serah-terima sumbangan dilakukan secara singkat dan simbolis. Relawan diwakili Ketua OSIS SMAN 7 OKU dan pihak bank oleh salah seorang petugasnya, Heri)









Catatan: Tindakan pemuatan tulisan ini  mohon tidak ditanggapi sebagai sesuatu yang ’riya’. Dilakukan semata untuk lebih memotivasi segenap anak bangsa  dalam mengasah  keperduliannya terhadap kehidupan berbangsa.
http://sastrombudeg.blogspot.com

Sunday 14 November 2010

Sampai Kapan Lanting Bertahan ...


http://sastrombudeg.blogspot.com

Adalah 'Jaka Tingkir' ala Suku Ogan.
Bila Jaka Tingkir 'Jawa' menjadikan bambu untuk menyeberang sungai/rawa sebagai 'gethek', maka 'Jaka Tingkir' Ogan ini menaikinya selama lebih kurang tujuh hari tujuh malam lalu ... menjualnya di kota!



Mereka menyusun rangkaian 'gethek komersial' (dikenal sebagai 'Lanting') ini di  daerah sekeliling Baturaja. Setelah siap, dengan perbekalan seadanya saja (tenda plastik, tikar, lampu minyak/obor, beras, dan alat masak sederhana) berangkatlah pelayaran tanpa layar mereka. Mereka tidak begitu pusing dengan lauk-pauk, karena Sungai Ogan telah menyediakan ikan yang berlimpah.

Dibawa ke mana bambu-bambu ini?
Setelah menyusuri Sungai Ogan selama lebih kurang satu minggu (tergantung arus air) dari Baturaja (hulu), sampailah 'gethek-gethek' ini di (hilir) Kota Palembang ( 'Muara Ogan'-pertemuan dengan Sungai Musi). Di sini 'gethek' dijual kepada para pengumpul atau langsung kepada konsumen. Biasanya bambu-bambu ini digunakan sebagai bahan pendukung/penopang /tangga saat pembangunan gedung-gedung tinggi.

Catatan: Sungai Ogan melintasi empat wilayah kabupaten/kota, yakni Muara Enim, OKU, OI, dan Kota Palembang. Panjang?

Friday 12 November 2010

Engkau Tahu Aku Saksikan!



















foto model ilustrasi ini anak berusia 3.5 tahun bernama dimas (berdarah ogan-bali), anak tetangga dan telah disetujui oleh orangtuanya.
http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday 15 September 2010

Jadi Guru di Pedalaman Papua

http://sastrombudeg.blogspot.com
ilustrasi: foto Gunung Bromo, Kasada 18 Desember 1986, penulis kanan paling belakang. (Tim Pasmanega I)






Semasa SMP dan SMA, bersama seorang kawan (Burhanudin) saya gemar jalan-jalan keliling daerah dengan menumpang kendaran tanpa bayar (truk, kereta barang) dan jalan kaki. Pada SMP kelas III liburan semester lima (Desember 1984), bersama kawan tersebut berangkatlah kami dari Ambarawa ke Jakarta. Kami telah sampai di puncak Monas, Taman Mini Indonesia Indah, dll.  Betapa bangga kami saat itu. Kenapa? karena kami hanya dengan sekadar membawa ongkos beli nasi putih di jalan (lauk abon sapi bawa dari rumah) bisa menempuh perjalanan sejauh itu di seusia itu. Perjalanan itu kami abadikan dengan foto-foto bersama dan saya buat catatan-catatan perjalanan dalam buku lusuh, lengkap dengan isian jam dan tanggal.

Pada tahun 1986 (SMA) kami kembali melakukan perjalanan ke Pulau Dewata. Kami sempat mengunjungi Danau Batur (Trunyan), Istana Tampak Siring, Goa Gajah, Ubud, Sanur, Kuta, dan Museum Bali.

Dari situ, karena begitu kagum dan bangga sebagai anak Indonesia, saya pernah bercita-cita melanjutkan perjalanan sampai tanah Papua (Irian Jaya saat itu). Entah tanpa bermaksud apa-apa, saya dari jauh merasa dekat dengan tanah tersebut. Saya merasa cinta dengan Bumi Cenderawasih. Begitu ingin saya masuk ke pedalaman paling terpencil sekalipun. Saya hanya ingin saling berbagi ilmu dengan saudara-saudara saya di sana. Saya ingin menjadi guru di sana ....

Walau kenyataan berkata lain. Akhirnya perjalanan hidup saya terdampar di tanah subur di tepian alur Sungai Ogan (Peninjauan-Baturaja-OKU-Sumatera Selatan). Di tanah ini pun saya jatuh cinta dengan alam dan budayanya. Saya hanya ingin selain hidup di tanah tepian Ogan ini, juga ingin berguna bagi tanah yang telah turut menghidupi saya beserta anak-istri.

Akhirnya dalam uraian singkat ini, saya menjadi semakin sadar bahwa saya cinta negeri indah ini, saya cinta nasionalisme Indonesia dengan sepenuh hati. Sakit di Aceh, Papua, adalah sakit saya.

Saya manusia yang terlahir dalam suku Jawa, tapi koleksi lagu-lagu dalam komputer saya adalah lagu-lagu Batak, Minang, Papua, Sunda, dan Sumatera Selatan. Meskipun banyak yang saya tak tahu artinya, tapi itu seakan mampu menghayatinya dan serasa terbang ke di mana lagu itu berasal.

Ketulusan bernasionalisme dalam Indonesia Raya-ku tak ada hubungan dengan kepentingan ekonomi. Aku bangga punya Saudara Papua, Saudara Aceh, Saudara Ogan, Saudara Komering, Minang, Batak, Dayak (saya pernah tinggal bersama kawan Dayak, Bugis, Lombok, dan Banjar di Kampung Baru - Tepian Sungai Kelian Tambang Emas PT KEM Kutai Kalimantan Timur-1988). Juga sudah barang tentu suku-suku lainnya.