Siang menjelang bubaran kantor, seorang kawan wanita, seorang guru, tiba-tiba masuk ke ruang kerja saya dan serta merta bertanya kepada saya sambil 'menjap-menjep':
“Pakde, kemarin Pakde jatuh cinta lagi ya …?” Demikian dia biasa memanggil saya 'Pakde', padahal saya lebih suka dipanggil ‘Mbahmo’.
Merah padam muka saya ketika itu. Apalagi kata-kata itu dilempar begitu saja di depan dua orang wakil kepala sekolah yang saat itu tengah duduk-duduk di ruang tata usaha mengobrol dengan saya.
“Ah nggak mungkin. Pasti itu keliru. Yang lebih tahu tentang saya justru istri saya. Saya terbiasa blak-blakan dengan istri saya tentang hal apa saja. Itu kebiasaan saya dari dulu, meskipun sering kali terasa pahit olehnya.” Jawab saya masih agak tersipu sambil mencoba mengembalikan kejiwaan saya yang sedikit terguncang. Malu.
"Yang benar, Pakde ....!" Timpal dia masih menyerang saya sambil 'cengar cengir'.
"Ah...!" Telinga saya yang waktu kecil sering diolok-olok kawan sebagai 'kuping gajah' karena besarnya, kini dari merah mulai menghitam dan memanas.
Di rumah pun saya ceritakan kepada istri perihal pertanyaan kawan saya tadi. Saya tadi belum sempat bertanya kepada ‘Bu Guru’ tentang kepada siapa saya jatuh cinta, gosip dari mana, dan apa tanda-tanda saya sedang jatuh cinta. Belum sempat bertanya, karena dia sudah keburu ngeloyor pergi sambil menyunggingkan senyum misteri, meninggalkan saya dalam keadaan 'cegukan' tak bisa ngomong apa-apa di hadapan sidang dua waka!
Jatuh cinta lagi? Di usia kepala empat jatuh cinta?
Saya mulai menginterogasi diri-sendiri, sudah barang tentu tidak perlu dengan cara-cara seperti reserse segala yang sampai menjepitkan jempol kaki tersangka ke kaki kursi yang diduduki agar terpaksa mengaku.
Belum lama ini saya iseng-iseng membaca ramalan shio saya di internet: “Waspadalah! Gosip dan skandal bisa jadi akan menimpa Anda di tahun 2011!" (inikah salah satunya?)
Lalu teringatlah saya akan obrolan bersama kawan-kawan seusia yang suka nongkrong di tempat favorit, di teras samping gubug saya sambil menyeruput kopi kental. Kami tertawa-tawa ketika topik masuk pada tingkah polah orang atau kawan pria berumur kepala empat di sekeliling kami.
Si A misalnya, yang dulu biasa berpakaian apa adanya dan ‘nglomrot’, akhir-akhir ini telah berubah total menjadi lebih bercahaya. Baju dimasukkan ke dalam celana, aroma wangi menebar di sekujur tubuhnya. Tak lupa sering ia mengumbar tawa-tiwi dan lengkingan siul dari mulut yang dimoncongkan ketika melihat perempuan muda berjalan atau bermotor lewat melintas tak jauh darinya.
Ada lagi si B, bahkan dia sudah nekat menjalin hubungan cinta dengan gadis ingusan berumur belasan. Teck ….
Jatuh cinta? Benarkah saya jatuh cinta? Benarkah hal-hal di atas juga telah menimpa saya? (Saya tertawa kecut)
Terbayanglah oleh saya para tokoh sastra dan musik:
Ada Kahlil Gibran dengan gaya cinta platonisnya, Ebiet G. Ade dengan musikalisasi puisi, Sapardi Djoko Damono dengan sajak-sajak kamarnya, Iwan Fals yang sanggup berlagu cinta dengan sangat menyentuh, elegan , dan tidak cengeng.
Masih banyak lagi.
Saya runut ke belakang kehidupan saya:
Semasa SMA, cita-cita saya banyak dan berubah-ubah. Namun pada penghujung kelas tiga telah mengerucut menjadi mantap: Saya ingin jadi psikolog.
Cita-cita terakhir tersebut terinspirasi oleh seorang penyair kota Semarang yang juga dosen (dekan?) fakultas psikologi di sebuah universitas swasta di kota itu. Darmanto Jatman.
Di tahun delapan puluhan, beliau adalah salah seorang penyair yang sering membacakan puisi-puisi karyanya di TVRI Stasiun Yogyakarta. Saya suka terpingkal-pingkal dan terpesona oleh cara beliau membawakannya. Melankolis dan kenes.
Kenyataannya sampai detik ini cita-cita menjadi psikolog tidak kesampaian.
Selain itu, saya juga seorang pengagum tokoh Semar dalam seni pewayangan. Sosok punakawan setengah dewa yang pintar mumpuni dan berilmu tinggi tapi tetap rendah hati, sederhana, bersahaja, serta menjadi penebar kasih sayang kepada siapa saja. Saya sangat terobsesi menjadi “Sang Pamomong” lengkap dengan fasilitas filosofinya.
Saya ingin berguna bagi orang lain tanpa berharap balasan atau untuk keuntungkan diri sendiri. Saya ingin menjadi tempat bertanya bagi banyak orang dan dapat membantu memberi solusi bagi masalah-masalah keruwetan hidup anak manusia.
Yang tersebut di atas ternyata juga masih belum bisa saya tunaikan walaupun tak seideal gambaran tokoh Semar aslinya. Sekalipun. Semua hanya mimpi di siang bolong. Saya masihlah seperti manusia 'Mbahmo' yang kemarin: Bodoh dan sok suci!
Maksud penggambaran di atas adalah, saya lebih ingin dan cenderung mendahulukan ‘kasih sayang’ kepada sesama ketimbang ‘cinta’. Konon ‘cinta’ adalah bentuk memberi yang ingin diberi juga. Berbeda dengan kata ‘kasih sayang’, mau memberi tapi tak mengharap balasan. Sebab bagi ‘kasih sayang’, keikhlasan lebih berharga dan memuaskan perasaan bagi yang berhasil melakukannya. Itulah idealnya. Kenyataannya, sampai sekarang juga, saya masih menjadi manusia yang berangasan dan temperamental.
Jatuh cinta? Benarkah saya jatuh cinta lagi?
(Saya tertawa masam)
Pagi-pagi sekali saya sudah berangkat ke tempat kerja dan tak sabar untuk bertemu kawan wanita tersebut. Semalaman saya tidak bisa tidur karena lemparan bola ‘cinta’ nya itu.
Setelah menunggu sekitar satu jam, saya bertemu dia di ruang perpustakaan. Saya agak kikuk juga saat menanyakan perihal ‘kejatuhcintaan’ saya seperti yang dikemukakannya kemarin. Setelah berhasil saya sampaikan pertanyaan saya meski sambil agak terbata, tertawalah dia ngakak sengakak-ngakaknya.
“Saya memang sedang ngerjain Pakde. Tumben hari Minggu kemarin Pakde berduaan dengan nyonya masuk keliling kalangan (pasar)! Seperti orang yang sedang pacaran dan jatuh cinta! Hehe….”
Kurang asem!
Tapi saya maklum dan mungkin tidak berlebihan kiranya dia bersikap dan berkata begitu. Sebab, meskipun rumah saya berada di lingkungan pasar (pinggir jalan besar tiga puluhan meter dari pasar), dihitung-hitung sudah lebih dari setahun saya tidak masuk pasar dan menikmati keramaian jual beli di dalamnya. Apalagi sampai keliling bareng istri sambil berpegangan tangan!
Jatuh cinta? Benarkah saya jatuh cinta lagi?
(Saya tertawa, kali ini benar-benar bahagia dan manggut-manggut mengakuinya)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Kahlil Gibran)
Sahabat adalah pemenuhan kebutuhan jiwa.
Dialah ladang hati, yang ditaburi dengan kasih dan dituai dengan penuh rasa terima kasih.
Sahabat adalah naungan sejuk keteduhan hati dan Api unggun kehangatan jiwa, karena akan dihampiri kala hati gersang kelaparan dan dicari saat jiwa mendamba kedamaian.
Ketika ia menyampaikan pendapat, kalbu tak kuasa menghadang dengan bisikan kata “tidak”, dan tak pernah khawatir untuk menyembunyikan kata “ya”
Bilamana dia terdiam tanpa kata hati senantiasa mencari rahasianya
Dalam persahabatan yang tanpa kata, segala fikiran, hasrat, dan keinginan terangkum bersama, menyimpan keutuhan dengan kegembiraan tiada terkirakan.
Ketika tiba saat perpisahan janganlah ada duka, sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan.
Seperti gunung yang nampak lebih agung dari padang dan ngarai.
Lenyapkan maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Karena cinta berpamrih yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya,
bukanlah cinta, tetapi sebuah jaring yang ditebarkan ke udara
hanya menangkap kekosongan semata.
Persembahkan yang terindah bagi persahabatan. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu. Karena persahabatan kan kehilangan makna jika mencarinya sekadar bersama guna membunuh waktu. Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu.
Sahabat kan mengisi kekuranganmu bukan mengisi kekosonganmu.
Dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa kegirangan
Berbagi duka dan kesenangan karena dalam rintik lembut embun, hati manusia menghirup fajar yang terbangun dan kesegaran gairah kehidupan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
http://sastrombudeg.blogspot.com