sastrombudeg: Sajak Pertumpahan Waktu IV

Friday 4 February 2011

Sajak Pertumpahan Waktu IV

elang kelelahan

lautan adalah bayang kejatuhan dan kematian

ketersesatan seonggok jasad

dicabik paus kehidupan

hilang tanpa abjad

di segugus karang

di setangkup radang

jiwa rayanya membiar lumat

digenggam erat sang pasti

http://sastrombudeg.blogspot.com

jiwa perwira dan keperwiraan adalah hasil olahrasa dan prinsip hidup yang sayogianya melekat dalam diri manusia. ia tidak pernah mengenal kasta, pangkat, harta, dan kedudukan. jiwa perwira akan menuntun manusia mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih besar yang bersentuhan dengan diri manusia itu sendiri, menjadikan manusia merasa malu untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.

tidakkah kita sering disodori: manusia berpangkat perwira tapi berjiwa tamtama. tapi tidak kurang pula, tamtama berjiwa perwira.

saya...

saya hanyalah anak mantan serdadu rendahan yang dibesarkan di tangsi bantir sumowono ambarawa jawa tengah. dalam kurun waktu itu (1972-1992), hari-hari saya sering terisi oleh perjumpaan dengan latihan-latihan militer: akmil, kopasandha (RPKAD/kopassus) dan lain-lain kesatuan yang berlatih ketentaraan. dari situ, meskipun saya bukan tentara, tapi hati saya sangat-sangat 'merah putih' (seperti judul film yang kebetulan juga shooting di tangsi itu, tempat saya dulu bermain perang-perangan, luncur-luncuran, pedang-pedangan, dll.). melihat kondisi republik yang kita cintai ini, saya mengajak anak-anak serdadu dan mantan serdadu untuk bersatu kembali dalam wadah yang tidak perlu formal, tapi nyata karya untuk pertiwi. kenapa? dominasi kepentingan ekonomi telah menelantarkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air. dominasi ekonomi telah mempunyai daya'seruduk' terhadap idealisme dan nilai-nilai luhur ke-nkri-an, dan 'penggembosan'sistem intelijen telah menguntungkan banyak pihak yang tidak berdedikasi baik terhadap kepentingan nasional.

23/02/2014

baca dulu

Friday 4 February 2011

Sajak Pertumpahan Waktu IV

tetap ceria ya nduk...!

mengapa sastro harus mbudeg

buah terakhir