ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Wednesday 15 September 2010

Jadi Guru di Pedalaman Papua

http://sastrombudeg.blogspot.com
ilustrasi: foto Gunung Bromo, Kasada 18 Desember 1986, penulis kanan paling belakang. (Tim Pasmanega I)






Semasa SMP dan SMA, bersama seorang kawan (Burhanudin) saya gemar jalan-jalan keliling daerah dengan menumpang kendaran tanpa bayar (truk, kereta barang) dan jalan kaki. Pada SMP kelas III liburan semester lima (Desember 1984), bersama kawan tersebut berangkatlah kami dari Ambarawa ke Jakarta. Kami telah sampai di puncak Monas, Taman Mini Indonesia Indah, dll.  Betapa bangga kami saat itu. Kenapa? karena kami hanya dengan sekadar membawa ongkos beli nasi putih di jalan (lauk abon sapi bawa dari rumah) bisa menempuh perjalanan sejauh itu di seusia itu. Perjalanan itu kami abadikan dengan foto-foto bersama dan saya buat catatan-catatan perjalanan dalam buku lusuh, lengkap dengan isian jam dan tanggal.

Pada tahun 1986 (SMA) kami kembali melakukan perjalanan ke Pulau Dewata. Kami sempat mengunjungi Danau Batur (Trunyan), Istana Tampak Siring, Goa Gajah, Ubud, Sanur, Kuta, dan Museum Bali.

Dari situ, karena begitu kagum dan bangga sebagai anak Indonesia, saya pernah bercita-cita melanjutkan perjalanan sampai tanah Papua (Irian Jaya saat itu). Entah tanpa bermaksud apa-apa, saya dari jauh merasa dekat dengan tanah tersebut. Saya merasa cinta dengan Bumi Cenderawasih. Begitu ingin saya masuk ke pedalaman paling terpencil sekalipun. Saya hanya ingin saling berbagi ilmu dengan saudara-saudara saya di sana. Saya ingin menjadi guru di sana ....

Walau kenyataan berkata lain. Akhirnya perjalanan hidup saya terdampar di tanah subur di tepian alur Sungai Ogan (Peninjauan-Baturaja-OKU-Sumatera Selatan). Di tanah ini pun saya jatuh cinta dengan alam dan budayanya. Saya hanya ingin selain hidup di tanah tepian Ogan ini, juga ingin berguna bagi tanah yang telah turut menghidupi saya beserta anak-istri.

Akhirnya dalam uraian singkat ini, saya menjadi semakin sadar bahwa saya cinta negeri indah ini, saya cinta nasionalisme Indonesia dengan sepenuh hati. Sakit di Aceh, Papua, adalah sakit saya.

Saya manusia yang terlahir dalam suku Jawa, tapi koleksi lagu-lagu dalam komputer saya adalah lagu-lagu Batak, Minang, Papua, Sunda, dan Sumatera Selatan. Meskipun banyak yang saya tak tahu artinya, tapi itu seakan mampu menghayatinya dan serasa terbang ke di mana lagu itu berasal.

Ketulusan bernasionalisme dalam Indonesia Raya-ku tak ada hubungan dengan kepentingan ekonomi. Aku bangga punya Saudara Papua, Saudara Aceh, Saudara Ogan, Saudara Komering, Minang, Batak, Dayak (saya pernah tinggal bersama kawan Dayak, Bugis, Lombok, dan Banjar di Kampung Baru - Tepian Sungai Kelian Tambang Emas PT KEM Kutai Kalimantan Timur-1988). Juga sudah barang tentu suku-suku lainnya.

Tuesday 17 August 2010

Ganyang Malaysia!


















http://sastrombudeg.blogspot.com

Pindahkan Ibukota Negara RI ke Kalimantan atau Sulawesi dan Setelah SBY, Jadikan Orang Non Jawa Bali Sebagai Presiden

http://sastrombudeg.blogspot.com

Pindahkan ibukota negara RI ke pulau Kalimantan atau Sulawesi dan setelah SBY, jadikan orang dari non Jawa-Bali sebagai presiden. Perpaduan sebagai simbolisasi lagu "Dari Sabang Sampai Merauke", relakan dan naikkanlah orang dari Aceh dan Papua.

Wednesday 14 July 2010

Animo Menjadi Anggota Militer atau Sipil, ke Mana Kecenderungan?

http://sastrombudeg.blogspot.com
sebenarnya ini bukan masalah besar atau kecil. sedikit atau banyak. berdasarkan pengamatan nonilmiah penulis, saat ini ada kecenderungan (dari yang berminat) putra-putri pertiwi lebih memilih menjadi anggota sipil bersenjata, atau sipil murni tanpa pistol tapi bermasa depan ekonomi yang cerah ketimbang bergelut di militer. setelah tidak diterima di sipil 'bergengsi' tersebut, baru melirik ke militer (bila kondisi fisik, mental, dan intelegensia memungkinkan).

saya tidak tahu ada apa di balik kecenderungan tersebut. banyak pikiran 'kira-kira' tapi sangat tidak etis saya sampaikan di sini.

tulisan ini saya naikkan oleh sebab pertanyaan-pertanyaan yang berputaran di kepala saya:
1. kondisi yang demikian, apabila tidak dicari solusi terbaik oleh militer, mungkinkah kita akan kehilangan putra-putri generasi terbaik di bidang militer?
2. dengan daya rangsang yang turun pada bidang kemiliteran,  patutkah ini juga dianggap sebagai    sebuah sinyal kemerosotan nilai-nilai cinta tanah air dan idealisme kebangsaan absolut tanpa bumbu-bumbu kepentingan ekonomi pribadi?

wallahualam.

Tuesday 27 April 2010

Birokrasi Kita, Keropos dan Usang

 
ganti baru atau cat ulang?
o...! sungguh sial! tetap saja dipertahankan!
mungkin karena ini negeri bernama indonesia....

http://sastrombudeg.blogspot.com