ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Saturday, 12 July 2014

Beri Kesempatan Rakyat Menerima Presiden bukan Pilihannya!

Gonjang-ganjing pasca 9 Juli 2014 masih berlanjut. Klaim sepihak kedua kubu capres-cawapres berikut hasil hitung cepat (quick count ) maupun real count, bagi saya pribadi sudah sangat mengganggu. Ditambah lagi dengan tayangan media yang sangat-sangat ‘menggiring’ opini ke kubu tertentu sudah sangat terasa melecehkan bagi rakyat Indonesia yang berada di kubu seberang. Ini pemilihan presiden untuk “Kita” ataukah untuk “Anda”?

Dalam hal kalimat terakhir pada paragraf di atas. Sudah sepantasnya, kubu yang merasa menang, haruslah memberi kesempatan dan waktu kepada rakyat yang berseberangan kubu untuk perlahan menerima dengan ikhlas hasil pemilu capres-cawapres yang kelak (22 Juli 2014) diumumkan secara resmi oleh KPU selaku penyelenggara.

Rakyat harus diberi kesempatan dan waktu untuk berfikir dan membuang emosi sentimen ‘kekubuannya’ manakala telah muncul penentuan final hasil perhitungan itu. Terlebih, selisih suara kedua kubu hampir berimbang dan oleh karenanya agar bisa dibaca sebagai setengah rakyat memilih kubu A, dan setengahnya lagi memilih kubu B. Sehingga tidaklah santun dan terlalu arogan apabila klaim sepihak suatu kubu seolah-olah menjadi atas nama seluruh rakyat. Sebab, pastilah, pada kubu yang kalah akan tersimpan luka.

Oleh karena itu, merupakan tugas dari si kubu pemenang (kelak) harus pintar dan tulus (tidak terasa melecehkan) mengambil hati rakyat yang tidak dalam satu kubu dengannya. Masing-masing rakyat memiliki alasan kuat untuk memilih salah satu calon di antara kedua calon. Dan, biasanya pilihan yang diberikannya itu, lebih dekat dengan kebutuhan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Parameter-parameter orang Jawa di luar pulau Jawa dengan orang Jawa yang berada di dalam pulau Jawa mungkin berbeda. Kebutuhan seorang pemimpin negara bagi orang-orang di pulau-pulau terluar mungkin saja berbeda dengan orang-orang di dalam pulau Jawa.

Bagi rakyat yang berada di gugusan pulau-pulau terluar mungkin mengedepankan perbaikan infrastruktur dan keamanan wilayah. Sementara rakyat di pulau Jawa yang dengan infrastrukturnya relatif lebih baik, mungkin memilih seorang pemimpin negara yang dipandang lebih mengerti untuk urusan kompetisi di lapangan kerja.

Semuanya sah-sah saja. Akan tetapi, lebih baik lagi, apabila rakyat (termasuk saya!) diberi bekal rasa saling memahami problem-problem kewilayahan masing-masing, sehingga tidak terkesan dominasi suara suatu wilayah tertentu dan meng-kerdil-kan suara di wilayah lainnya. Suara rakyat ke-NKRI-an harus dikedepankan. Sayang, saya tidak melihatnya dalam pilpres kali ini. Yang terjadi, golongan tertentu seolah-olah hendak menerkam golongan lainnya. Dan parahnya, ini dipelihara oleh para elit politik maupun orang-per orang yang ‘merasa’ berkepentingan dengan keterpilihan calon presiden-wakil presidennya.

Tulisan ini tidak begitu runtut, akan tetapi ada pesan di dalamnya:

Berhenti saling hujat dan klaim kemenangan, siapapun yang mendahuluinya. Berpikirlah, bahwa hujatan-hujatan ‘Anda’ selaku salah satu rakyat Indonesia telah menyakiti hati salah satu atau bahkan jutaaan rakyat Indonesia lainnya yang tidak sepaham dengan ‘Anda’ tapi mereka memilih diam.

Beri kesempatan dan waktu dalam hari-hari ini, bagi pihak yang kemungkinan akan ‘kalah’ agar tetap mengakui dengan lapang dada kekalahannya, bahkan sebisanya malah akan turut merasa menang dan bahagia bersama ‘Anda’.

Salam.

http://sastrombudeg.blogspot.com

Thursday, 24 April 2014

Tuesday, 25 February 2014

Ingin

ingin berteduh di bawah rindangmu,
mengingat kusiram dan kupupuk semasa kecil dulu

http://sastrombudeg.blogspot.com

Monday, 24 February 2014

Kebetulan yang Betul-Betul Betul (I)

Sama halnya dengan saya, hampir pasti Anda juga pernah mengalami suatu kejadian yang menurut Anda sendiri sebagai suatu kebetulan, kan?

Ceritanya begini.
Demi mewujudkan rencana  perjalanan ke Kalimantan, bersama seorang kawan, pada pertengahan bulan September tahun 1988, saya berangkat dari Ambarawa Jawa Tengah ke Surabaya untuk mencari kapal yang dapat mengantar kami ke tempat tujuan, Tarakan (Kalimantan Timur kala itu).

Setelah  lebih kurang enam jam perjalanan dari Ambarawa melalui Solo, pada dini hari  menjelang subuh, bus yang kami tumpangi pun tiba di kota Surabaya. Dengan tak banyak berpikir serta pertimbangan, kami langsung menelusuri jalanan di luar terminal bus sambil mencari-cari di mana ada kantor biro perjalanan.

Agaknya, di Surabaya ini, kami mendapat kesulitan untuk mendapatkan kapal dagang yang bersedia membawa kami berlayar ke tujuan pada hari itu juga.

Kami memang tidak berhasrat menggunakan kapal penumpang. Sebuah langkah penghematan, itulah yang kami kedepankan, selain, karena kami tidak mendapatkan informasi yang memadai perihal jadwal keberangkatan kapal penumpang ke Tarakan.

Di sebuah biro perjalanan, sang pengelola menganjurkan bahwa lebih baik kami menumpang pada sebuah kapal kayu yang hendak berlayar menuju Samarinda (kapal sudah ada dan hampir kelar menaikkan muatan), dengan skenario, sesampai di Samarinda nanti, kami dapat menyambung perjalanan ke Tarakan dengan menggunakan kapal lain.

Kami akhirnya setuju. Setelah melakukan pembayaran, saat itu juga, dengan bermotor bonceng tiga, kami diantar menuju pelabuhan (saya lupa, Tanjung Perak atau Kalimas).

Pada sebuah kapal kayu yang tak begitu besar bernama “Indo Jaya”, aktivitas menaikkan muatan sayur-mayur dan cobek dari batu telah mendekati akhir . Saat kami masuk ke dalam kapal tersebut (sudah barang tentu  dengan cara sembunyi-sembunyi menghindari syahbandar),  tampaklah oleh kami,  beberapa orang laki-laki dan perempuan tengah duduk-duduk di lantai kayu bercat biru laut dalam lorong kabin kru kapal. Kami pun masuk untuk bergabung bersama mereka.

Lengang. Kami, masing-masing  adalah penumpang gelap dan para pemilik dagangan yang hendak memasarkan barangnya di wilayah Samarinda dan sekitarnya.

Perlu diingat, bila kita melihat peta, jarak antara Surabaya ke Samarinda, ternyata hampir sama dengan jarak Samarinda ke Tarakan. 

Kelak kami baru tahu bahwa mencari kapal yang berangkat dari Samarinda ke Tarakan akan lebih sulit dibanding mencari kapal yang berangkat dari Surabaya langsung ke Tarakan. Sebab, pelabuhan Samarinda adalah sebuah pelabuhan kecil yang jauh masuk ke dalam  sungai Mahakam. Hampir tidak ada pelayaran dari Samarinda ke Tarakan. Di pelabuhan Balikpapan lah bisa ditemui banyak kapal yang memiliki rute ke sana, kapal penumpang maupun barang.

Tak berapa lama, terompet kapal berbunyi, tanda keberangkatan kapal dimulai.

Selepas beberapa mil dari pelabuhan, Nuansa ketegangan akibat takut ketahuan pihak otoritas pelabuhan tampak mulai luruh. Suasana telah berubah rileks. Sambil menghisap rokok masing-masing, saling tegur sapa dan basa basi mulai terjadi di antara kami.

Kepada mereka kami bercerita bahwa kami ke Samarinda hanya untuk transit dengan tujuan akhir ke Tarakan. Sang  bapak pedagang cobek bertanya, di mana alamat Tarakan-nya, kami menjawabnya di Palaran.

“Palaran-nya?”

“Kampung Kanas!” Hampir serempak kami menjawab lagi.

“Ah, kalau Kampung Kanas Palaran sih itu tempat tinggal saya, Itu di hilir Samarinda, bukan di Tarakan!” Ujar bapak tadi dengan nada ketus dan sinis.

Kaget kami mendengar ujaran bapak tadi. Serta merta, saya mengambil tas pakaian lalu membukanya. Saya ambil surat jalan kami dan membacanya secara cermat.

Eit!

Benar! Di situ tertera Kampung Kanas Kecamatan Palaran Kota Samarinda! Alangkah bodoh dan kurang telitinya kami.

Bila saja,  saat masih di Surabaya tadi, kami mendapatkan kapal ke Tarakan dan terlanjur ikut berlayar ke sana, tak tahu apa yang akan terjadi pada kami, paling tidak, untuk sementara waktu, kami pasti akan mengalami shock dan stres. Ini merupakan perjalanan antarpulau pertama yang kami lakukan.

Terima kasih ya Allah! Engkau-lah yang menuntun kami melalui skenario-Mu. Skenario kami tidak ada artinya.

Sama sekali.

(catatan: enam bulan setelah pelayaran tersebut di atas, dari koran yang saya baca kemudian, kapal “Indo Jaya” diberitakan tenggelam di Laut Jawa, sebagian kru kapal dinyatakan hilang)

http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday, 5 January 2013

Tidurkah Editor Bahasa (Indonesia) di Televisi Kita?


Dalam olah bahasa Indonesia, untuk orang seperti saya, yang pernah menjalani pendidikan di sekolah menengah pada dekade delapan puluhan, tentu masih ingat dengan popularitas J.S. Badudu dengan acaranya "Pembinaan Bahasa Indonesia" di TVRI.

J.S. Badudu sebagai ahli bahasa Indonesia, dalam pengantaran materinya, siapa pun pasti sepakat perihal kerincian, ketelitian, dan keketatan beliau dalam olah tata bahasa. Uraian dan analisa beliau terhadap suatu kata atau kalimat terasa enak dan mudah dicerna bagi orang awam peminat tata bahasa Indonesia seperti saya. Sebagai catatan, selain di acara TVRI itu, saya juga mengikuti pembinaan bahasa Indonesia yang dibawakan oleh beliau melalui majalah Intisari.

Berpijak pada pengalaman menikmati pembinaan bahasa ala J.S. Badudu, akhir-akhir ini saya merasa sangat gelisah dan kesal tiap kali menonton acara-acara televisi kita (mohon maaf,  saya sebut di sini, salah satunya adalah acara “Opera Van Java (OVJ)”) dengan intensitas yang tinggi, terdapat trend penggunaan ‘-nya’ sebagai kata ganti milik (orang ketiga tunggal) yang masih diikuti dengan penyebutan si ‘pemilik’.

Khusus untuk “OVJ”, saya menduga, itu terjadi karena terdapat kegagalan alih dan adaptasi bahasa dari model tontonan ‘kethoprak’ (yang didominasi oleh awak dan bahasa antaran berbasis bahasa Jawa) ke model tontonan teater modern (yang berbasis bahasa Indonesia baku).

Contoh:
·         “Ini sandalnya saya!” (seharusnya “Ini sandal saya!”)
·         “Xxx kopinya orang Indonesia!” (xxx kopi orang Indonesia)
·         “He, lama kita tidak bertemu, berapa anaknya sekarang?” (padahal maksudnya adalah berapa anakmu sekarang?)
·         atau ada reporter yang bertanya kepada seorang narasumbernya:
·         “Apa komentarnya melihat kejadian tadi?” (padahal yang dimaksud adalah komentar si narasumber itu, bukan orang lain).

Saya hanya awam bahasa Indonesia yang berkeyakinan bahwa penggunaan ‘-nya’ dengan maksud penekanan sebagai kata ganti milik orang ketiga tunggal seperti tersebut di atas adalah salah dan terasuki unsur-unsur tata bahasa Jawa. Hal demikian juga sudah banyak dibahas oleh para guru dan ahli bahasa Indonesia di berbagai forum dan media.

Saya menulis ini hanya didasari oleh kekhawatiran bahwa bila penggunaan ‘-nya’ yang tidak pada tempatnya tersebut dibiarkan dan tidak diingatkan secara luas, maka bukan tidak mungkin, kelak akan menjadi suatu kebiasaan yang seolah-olah ‘sah’ dalam bahasa tutur dan tulis kita dan dipakai mulai dari kalangan orang awam seperti saya, artis, bahkan para birokrat, serta bertelur pada surat-surat resmi dan kedinasan. Lebih luas, agar orang asing yang sedang belajar tata bahasa Indonesia dengan serius tidak dibuat bingung karenanya. Hargailah bahasa kita sendiri dan tak berhenti mempelajarinya.

Saya berharap, media massa (terutama televisi) lebih tajam dalam edit bahasanya.

Ini hanyalah rangkaian tulisan yang bersifat spontanitas,  mohon maaf  bila terdapat salah tulis di sana sini  dan terasa ‘sok tahu’. Saya juga belum sempurna dalam bertata bahasa Indonesia. Salam.
 
http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday, 31 August 2011

Kepada Seorang Perempuan

dan itu adalah istriku
yang tak pernah luruh dalam degradasi
seringkali, saat aku tengah memikirkan,
tapi engkau telah begitu sigap menyatakannya

ujung-ujung anak rambutmu,
aku tahu ia bercerita tentang kelelahanmu
gurun demi gurun, kuajak engkau jejaki
mungkinkah ini sebuah oase kecil berhasil kita temukan!

mari nikmati dengan syukur kurma-kurma lezat Illahi
air bening yang tersedia bukan melulu untuk menenggelam dahaga
tapi mungkin lebih dari itu:
agar wudhu kita semakin sempurna dalam ketakziman!

http://sastrombudeg.blogspot.com

Tuesday, 16 August 2011

Anehmu

menyisirimu
dupa-dupa padam-nyala
dan asapnya menenggelam aroma

adakah yang ingin engkau tandakan
pada jaring-waktu yang terbekap di arloji
masa lalu di kelakmu?


http://sastrombudeg.blogspot.com

Thursday, 7 July 2011

Jika Kau Lelap di Situ ...

lalu untuk apa kau bangun ruang-ruang tanpa sekat itu
ventilasi yang mengunduh angin dan wewangian perdu
pintu-pintu besar yang anggun menyambut tetamu
....

lalu,
ningnong-ningnong di pintu pagar gerbangmu,
adakah kau dengar itu?
....

http://sastrombudeg.blogspot.com

Saturday, 4 June 2011

Baik, Baik!

baik, baik!
kutinggalkan engkau tanpa kutuk
tanpa tabik peninggalan terakhir

baik, baik!
kupergi dari rerindang misteri
melindap
hilang dari abai

baik, baik!
telah engkau ingatkan aku tentang waktu
tentang ketersesatan anak manusia
tapi jangan sebut itu kusta!


http://sastrombudeg.blogspot.com

Wednesday, 6 April 2011

Judulnya Nanti !

 dalam rumah kedapmu,
pergolakan itu mati dengan sendirinya

menikmatimu,
angin di luar,
keributan yang tak kudengar



http://sastrombudeg.blogspot.com