ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Saturday, 5 January 2013

Tidurkah Editor Bahasa (Indonesia) di Televisi Kita?


Dalam olah bahasa Indonesia, untuk orang seperti saya, yang pernah menjalani pendidikan di sekolah menengah pada dekade delapan puluhan, tentu masih ingat dengan popularitas J.S. Badudu dengan acaranya "Pembinaan Bahasa Indonesia" di TVRI.

J.S. Badudu sebagai ahli bahasa Indonesia, dalam pengantaran materinya, siapa pun pasti sepakat perihal kerincian, ketelitian, dan keketatan beliau dalam olah tata bahasa. Uraian dan analisa beliau terhadap suatu kata atau kalimat terasa enak dan mudah dicerna bagi orang awam peminat tata bahasa Indonesia seperti saya. Sebagai catatan, selain di acara TVRI itu, saya juga mengikuti pembinaan bahasa Indonesia yang dibawakan oleh beliau melalui majalah Intisari.

Berpijak pada pengalaman menikmati pembinaan bahasa ala J.S. Badudu, akhir-akhir ini saya merasa sangat gelisah dan kesal tiap kali menonton acara-acara televisi kita (mohon maaf,  saya sebut di sini, salah satunya adalah acara “Opera Van Java (OVJ)”) dengan intensitas yang tinggi, terdapat trend penggunaan ‘-nya’ sebagai kata ganti milik (orang ketiga tunggal) yang masih diikuti dengan penyebutan si ‘pemilik’.

Khusus untuk “OVJ”, saya menduga, itu terjadi karena terdapat kegagalan alih dan adaptasi bahasa dari model tontonan ‘kethoprak’ (yang didominasi oleh awak dan bahasa antaran berbasis bahasa Jawa) ke model tontonan teater modern (yang berbasis bahasa Indonesia baku).

Contoh:
·         “Ini sandalnya saya!” (seharusnya “Ini sandal saya!”)
·         “Xxx kopinya orang Indonesia!” (xxx kopi orang Indonesia)
·         “He, lama kita tidak bertemu, berapa anaknya sekarang?” (padahal maksudnya adalah berapa anakmu sekarang?)
·         atau ada reporter yang bertanya kepada seorang narasumbernya:
·         “Apa komentarnya melihat kejadian tadi?” (padahal yang dimaksud adalah komentar si narasumber itu, bukan orang lain).

Saya hanya awam bahasa Indonesia yang berkeyakinan bahwa penggunaan ‘-nya’ dengan maksud penekanan sebagai kata ganti milik orang ketiga tunggal seperti tersebut di atas adalah salah dan terasuki unsur-unsur tata bahasa Jawa. Hal demikian juga sudah banyak dibahas oleh para guru dan ahli bahasa Indonesia di berbagai forum dan media.

Saya menulis ini hanya didasari oleh kekhawatiran bahwa bila penggunaan ‘-nya’ yang tidak pada tempatnya tersebut dibiarkan dan tidak diingatkan secara luas, maka bukan tidak mungkin, kelak akan menjadi suatu kebiasaan yang seolah-olah ‘sah’ dalam bahasa tutur dan tulis kita dan dipakai mulai dari kalangan orang awam seperti saya, artis, bahkan para birokrat, serta bertelur pada surat-surat resmi dan kedinasan. Lebih luas, agar orang asing yang sedang belajar tata bahasa Indonesia dengan serius tidak dibuat bingung karenanya. Hargailah bahasa kita sendiri dan tak berhenti mempelajarinya.

Saya berharap, media massa (terutama televisi) lebih tajam dalam edit bahasanya.

Ini hanyalah rangkaian tulisan yang bersifat spontanitas,  mohon maaf  bila terdapat salah tulis di sana sini  dan terasa ‘sok tahu’. Saya juga belum sempurna dalam bertata bahasa Indonesia. Salam.
 
http://sastrombudeg.blogspot.com