Dalam
olah bahasa Indonesia, untuk orang seperti saya, yang pernah menjalani
pendidikan di sekolah menengah pada dekade delapan puluhan, tentu masih ingat
dengan popularitas J.S. Badudu dengan acaranya "Pembinaan Bahasa
Indonesia" di TVRI.
J.S. Badudu sebagai ahli bahasa
Indonesia, dalam pengantaran materinya, siapa pun pasti sepakat perihal
kerincian, ketelitian, dan keketatan beliau dalam olah tata bahasa. Uraian dan
analisa beliau terhadap suatu kata atau kalimat terasa enak dan mudah dicerna
bagi orang awam peminat tata bahasa Indonesia seperti saya. Sebagai catatan,
selain di acara TVRI itu, saya juga mengikuti pembinaan bahasa Indonesia yang
dibawakan oleh beliau melalui majalah Intisari.
Berpijak pada pengalaman menikmati
pembinaan bahasa ala J.S. Badudu, akhir-akhir ini saya merasa sangat gelisah
dan kesal tiap kali menonton acara-acara televisi kita (mohon maaf, saya sebut di sini, salah satunya adalah
acara “Opera Van Java (OVJ)”) dengan intensitas yang tinggi, terdapat trend
penggunaan ‘-nya’ sebagai kata ganti milik (orang ketiga tunggal) yang masih
diikuti dengan penyebutan si ‘pemilik’.
Khusus untuk “OVJ”, saya menduga,
itu terjadi karena terdapat kegagalan alih dan adaptasi bahasa dari model
tontonan ‘kethoprak’ (yang didominasi oleh awak dan bahasa antaran berbasis
bahasa Jawa) ke model tontonan teater modern (yang berbasis bahasa Indonesia
baku).
Contoh:
·
“Ini sandalnya saya!” (seharusnya “Ini sandal
saya!”)
·
“Xxx kopinya orang Indonesia!” (xxx kopi
orang Indonesia)
·
“He, lama kita tidak bertemu, berapa anaknya
sekarang?” (padahal maksudnya adalah berapa anakmu sekarang?)
·
atau ada reporter yang bertanya kepada seorang
narasumbernya:
·
“Apa komentarnya melihat kejadian
tadi?” (padahal yang dimaksud adalah komentar si narasumber itu, bukan orang
lain).
Saya hanya awam bahasa Indonesia
yang berkeyakinan bahwa penggunaan ‘-nya’ dengan maksud penekanan sebagai kata
ganti milik orang ketiga tunggal seperti tersebut di atas adalah salah dan
terasuki unsur-unsur tata bahasa Jawa. Hal demikian juga sudah banyak dibahas
oleh para guru dan ahli bahasa Indonesia di berbagai forum dan media.
Saya menulis ini hanya didasari
oleh kekhawatiran bahwa bila penggunaan ‘-nya’ yang tidak pada tempatnya
tersebut dibiarkan dan tidak diingatkan secara luas, maka bukan tidak mungkin,
kelak akan menjadi suatu kebiasaan yang seolah-olah ‘sah’ dalam bahasa tutur
dan tulis kita dan dipakai mulai dari kalangan orang awam seperti saya, artis,
bahkan para birokrat, serta bertelur pada surat-surat resmi dan kedinasan.
Lebih luas, agar orang asing yang sedang belajar tata bahasa Indonesia dengan
serius tidak dibuat bingung karenanya. Hargailah bahasa kita sendiri dan tak
berhenti mempelajarinya.
Saya berharap, media massa
(terutama televisi) lebih tajam dalam edit bahasanya.
Ini hanyalah rangkaian tulisan yang
bersifat spontanitas, mohon maaf
bila terdapat salah tulis di sana sini
dan terasa ‘sok tahu’. Saya juga belum sempurna dalam bertata bahasa
Indonesia. Salam.
http://sastrombudeg.blogspot.com