Demi mewujudkan rencana
perjalanan ke Kalimantan, bersama seorang kawan, pada pertengahan bulan
September tahun 1988, saya berangkat dari Ambarawa Jawa Tengah ke Surabaya
untuk mencari kapal yang dapat mengantar kami ke tempat tujuan, Tarakan
(Kalimantan Timur kala itu).
Setelah lebih kurang enam jam perjalanan dari Ambarawa melalui Solo, pada dini hari menjelang subuh, bus yang kami tumpangi pun tiba di kota Surabaya. Dengan tak banyak berpikir serta pertimbangan, kami langsung menelusuri jalanan di luar terminal bus sambil mencari-cari di mana ada kantor biro perjalanan.
Agaknya, di Surabaya ini, kami mendapat kesulitan untuk mendapatkan
kapal dagang yang bersedia membawa kami berlayar ke tujuan pada hari itu
juga.
Kami memang tidak berhasrat menggunakan kapal penumpang.
Sebuah langkah penghematan, itulah yang kami kedepankan, selain, karena kami
tidak mendapatkan informasi yang memadai perihal jadwal keberangkatan kapal
penumpang ke Tarakan.
Di sebuah biro perjalanan, sang pengelola menganjurkan bahwa
lebih baik kami menumpang pada sebuah kapal kayu yang hendak berlayar menuju
Samarinda (kapal sudah ada dan hampir kelar menaikkan muatan), dengan skenario,
sesampai di Samarinda nanti, kami dapat menyambung perjalanan ke Tarakan dengan menggunakan kapal lain.
Kami akhirnya setuju. Setelah melakukan pembayaran, saat itu
juga, dengan bermotor bonceng tiga, kami diantar menuju pelabuhan (saya lupa,
Tanjung Perak atau Kalimas).
Pada
sebuah kapal kayu yang tak begitu besar bernama “Indo Jaya”, aktivitas
menaikkan muatan sayur-mayur dan cobek dari batu telah mendekati
akhir .
Saat kami masuk ke dalam kapal tersebut (sudah barang tentu dengan cara
sembunyi-sembunyi menghindari
syahbandar), tampaklah oleh kami, beberapa orang laki-laki dan
perempuan tengah
duduk-duduk di lantai kayu bercat biru laut dalam lorong kabin kru
kapal. Kami pun masuk untuk bergabung bersama mereka.
Lengang. Kami, masing-masing adalah penumpang gelap dan para pemilik dagangan yang hendak memasarkan barangnya di wilayah Samarinda dan sekitarnya.
Lengang. Kami, masing-masing adalah penumpang gelap dan para pemilik dagangan yang hendak memasarkan barangnya di wilayah Samarinda dan sekitarnya.
Perlu diingat, bila kita melihat peta, jarak antara Surabaya
ke Samarinda, ternyata hampir sama dengan jarak Samarinda ke Tarakan.
Kelak kami baru tahu bahwa mencari kapal yang berangkat dari Samarinda ke Tarakan akan lebih sulit dibanding mencari kapal yang berangkat dari Surabaya langsung ke Tarakan. Sebab, pelabuhan Samarinda adalah sebuah pelabuhan kecil yang jauh masuk ke dalam sungai Mahakam. Hampir tidak ada pelayaran dari Samarinda ke Tarakan. Di pelabuhan Balikpapan lah bisa ditemui banyak kapal yang memiliki rute ke sana, kapal penumpang maupun barang.
Kelak kami baru tahu bahwa mencari kapal yang berangkat dari Samarinda ke Tarakan akan lebih sulit dibanding mencari kapal yang berangkat dari Surabaya langsung ke Tarakan. Sebab, pelabuhan Samarinda adalah sebuah pelabuhan kecil yang jauh masuk ke dalam sungai Mahakam. Hampir tidak ada pelayaran dari Samarinda ke Tarakan. Di pelabuhan Balikpapan lah bisa ditemui banyak kapal yang memiliki rute ke sana, kapal penumpang maupun barang.
Tak berapa lama, terompet kapal berbunyi, tanda keberangkatan kapal dimulai.
Selepas beberapa mil dari pelabuhan, Nuansa ketegangan akibat takut ketahuan pihak otoritas pelabuhan tampak mulai luruh. Suasana telah berubah rileks. Sambil menghisap rokok masing-masing, saling tegur sapa dan basa basi mulai terjadi di antara kami.
Kepada mereka kami bercerita bahwa kami ke Samarinda hanya untuk
transit dengan tujuan akhir ke Tarakan. Sang bapak pedagang cobek bertanya, di mana alamat
Tarakan-nya, kami menjawabnya di Palaran.
“Palaran-nya?”
“Kampung Kanas!” Hampir serempak kami menjawab lagi.
“Ah, kalau Kampung Kanas Palaran sih itu tempat tinggal saya,
Itu di hilir Samarinda, bukan di Tarakan!” Ujar bapak tadi dengan nada ketus dan sinis.
Kaget kami mendengar ujaran bapak tadi. Serta merta, saya
mengambil tas pakaian lalu membukanya. Saya ambil surat jalan kami dan
membacanya secara cermat.
Eit!
Benar! Di situ tertera Kampung Kanas Kecamatan Palaran Kota
Samarinda! Alangkah bodoh dan kurang telitinya kami.
Bila saja, saat masih
di Surabaya tadi, kami mendapatkan kapal ke Tarakan dan terlanjur ikut berlayar
ke sana, tak tahu apa yang akan terjadi pada kami, paling tidak, untuk
sementara waktu, kami pasti akan mengalami shock dan stres. Ini merupakan perjalanan antarpulau pertama yang kami lakukan.
Terima kasih ya
Allah! Engkau-lah yang menuntun kami melalui skenario-Mu. Skenario kami tidak ada artinya.
Sama sekali.
Sama sekali.
(catatan: enam bulan
setelah pelayaran tersebut di atas, dari koran yang saya baca kemudian, kapal “Indo Jaya” diberitakan tenggelam di Laut Jawa,
sebagian kru kapal dinyatakan hilang)
http://sastrombudeg.blogspot.com