ini adalah area sempit, ruang tanpa gelar akademik, gelar keagamaan, gelar kepangkatan, gelar kehartaan, gelar kebudayaan, gelar-gelar yang mempersempit ruang nurani digelar

23/02/2014

23/02/2014

baca dulu

baca dulu

Monday, 24 February 2014

Kebetulan yang Betul-Betul Betul (I)

Sama halnya dengan saya, hampir pasti Anda juga pernah mengalami suatu kejadian yang menurut Anda sendiri sebagai suatu kebetulan, kan?

Ceritanya begini.
Demi mewujudkan rencana  perjalanan ke Kalimantan, bersama seorang kawan, pada pertengahan bulan September tahun 1988, saya berangkat dari Ambarawa Jawa Tengah ke Surabaya untuk mencari kapal yang dapat mengantar kami ke tempat tujuan, Tarakan (Kalimantan Timur kala itu).

Setelah  lebih kurang enam jam perjalanan dari Ambarawa melalui Solo, pada dini hari  menjelang subuh, bus yang kami tumpangi pun tiba di kota Surabaya. Dengan tak banyak berpikir serta pertimbangan, kami langsung menelusuri jalanan di luar terminal bus sambil mencari-cari di mana ada kantor biro perjalanan.

Agaknya, di Surabaya ini, kami mendapat kesulitan untuk mendapatkan kapal dagang yang bersedia membawa kami berlayar ke tujuan pada hari itu juga.

Kami memang tidak berhasrat menggunakan kapal penumpang. Sebuah langkah penghematan, itulah yang kami kedepankan, selain, karena kami tidak mendapatkan informasi yang memadai perihal jadwal keberangkatan kapal penumpang ke Tarakan.

Di sebuah biro perjalanan, sang pengelola menganjurkan bahwa lebih baik kami menumpang pada sebuah kapal kayu yang hendak berlayar menuju Samarinda (kapal sudah ada dan hampir kelar menaikkan muatan), dengan skenario, sesampai di Samarinda nanti, kami dapat menyambung perjalanan ke Tarakan dengan menggunakan kapal lain.

Kami akhirnya setuju. Setelah melakukan pembayaran, saat itu juga, dengan bermotor bonceng tiga, kami diantar menuju pelabuhan (saya lupa, Tanjung Perak atau Kalimas).

Pada sebuah kapal kayu yang tak begitu besar bernama “Indo Jaya”, aktivitas menaikkan muatan sayur-mayur dan cobek dari batu telah mendekati akhir . Saat kami masuk ke dalam kapal tersebut (sudah barang tentu  dengan cara sembunyi-sembunyi menghindari syahbandar),  tampaklah oleh kami,  beberapa orang laki-laki dan perempuan tengah duduk-duduk di lantai kayu bercat biru laut dalam lorong kabin kru kapal. Kami pun masuk untuk bergabung bersama mereka.

Lengang. Kami, masing-masing  adalah penumpang gelap dan para pemilik dagangan yang hendak memasarkan barangnya di wilayah Samarinda dan sekitarnya.

Perlu diingat, bila kita melihat peta, jarak antara Surabaya ke Samarinda, ternyata hampir sama dengan jarak Samarinda ke Tarakan. 

Kelak kami baru tahu bahwa mencari kapal yang berangkat dari Samarinda ke Tarakan akan lebih sulit dibanding mencari kapal yang berangkat dari Surabaya langsung ke Tarakan. Sebab, pelabuhan Samarinda adalah sebuah pelabuhan kecil yang jauh masuk ke dalam  sungai Mahakam. Hampir tidak ada pelayaran dari Samarinda ke Tarakan. Di pelabuhan Balikpapan lah bisa ditemui banyak kapal yang memiliki rute ke sana, kapal penumpang maupun barang.

Tak berapa lama, terompet kapal berbunyi, tanda keberangkatan kapal dimulai.

Selepas beberapa mil dari pelabuhan, Nuansa ketegangan akibat takut ketahuan pihak otoritas pelabuhan tampak mulai luruh. Suasana telah berubah rileks. Sambil menghisap rokok masing-masing, saling tegur sapa dan basa basi mulai terjadi di antara kami.

Kepada mereka kami bercerita bahwa kami ke Samarinda hanya untuk transit dengan tujuan akhir ke Tarakan. Sang  bapak pedagang cobek bertanya, di mana alamat Tarakan-nya, kami menjawabnya di Palaran.

“Palaran-nya?”

“Kampung Kanas!” Hampir serempak kami menjawab lagi.

“Ah, kalau Kampung Kanas Palaran sih itu tempat tinggal saya, Itu di hilir Samarinda, bukan di Tarakan!” Ujar bapak tadi dengan nada ketus dan sinis.

Kaget kami mendengar ujaran bapak tadi. Serta merta, saya mengambil tas pakaian lalu membukanya. Saya ambil surat jalan kami dan membacanya secara cermat.

Eit!

Benar! Di situ tertera Kampung Kanas Kecamatan Palaran Kota Samarinda! Alangkah bodoh dan kurang telitinya kami.

Bila saja,  saat masih di Surabaya tadi, kami mendapatkan kapal ke Tarakan dan terlanjur ikut berlayar ke sana, tak tahu apa yang akan terjadi pada kami, paling tidak, untuk sementara waktu, kami pasti akan mengalami shock dan stres. Ini merupakan perjalanan antarpulau pertama yang kami lakukan.

Terima kasih ya Allah! Engkau-lah yang menuntun kami melalui skenario-Mu. Skenario kami tidak ada artinya.

Sama sekali.

(catatan: enam bulan setelah pelayaran tersebut di atas, dari koran yang saya baca kemudian, kapal “Indo Jaya” diberitakan tenggelam di Laut Jawa, sebagian kru kapal dinyatakan hilang)

http://sastrombudeg.blogspot.com