Dalam hal kalimat terakhir pada paragraf di atas. Sudah sepantasnya, kubu yang merasa menang, haruslah memberi kesempatan dan
waktu kepada rakyat yang berseberangan kubu untuk perlahan menerima
dengan ikhlas hasil pemilu capres-cawapres yang kelak (22 Juli 2014)
diumumkan secara resmi oleh KPU selaku penyelenggara.
Rakyat harus diberi kesempatan dan waktu untuk berfikir dan membuang emosi sentimen ‘kekubuannya’ manakala telah muncul penentuan final hasil perhitungan itu. Terlebih, selisih suara kedua kubu hampir berimbang dan oleh karenanya agar bisa dibaca sebagai setengah rakyat memilih kubu A, dan setengahnya lagi memilih kubu B. Sehingga tidaklah santun dan terlalu arogan apabila klaim sepihak suatu kubu seolah-olah menjadi atas nama seluruh rakyat. Sebab, pastilah, pada kubu yang kalah akan tersimpan luka.
Oleh karena itu, merupakan tugas dari si kubu pemenang (kelak) harus pintar dan tulus (tidak terasa melecehkan) mengambil hati rakyat yang tidak dalam satu kubu dengannya. Masing-masing rakyat memiliki alasan kuat untuk memilih salah satu calon di antara kedua calon. Dan, biasanya pilihan yang diberikannya itu, lebih dekat dengan kebutuhan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Parameter-parameter orang Jawa di luar pulau Jawa dengan orang Jawa yang berada di dalam pulau Jawa mungkin berbeda. Kebutuhan seorang pemimpin negara bagi orang-orang di pulau-pulau terluar mungkin saja berbeda dengan orang-orang di dalam pulau Jawa.
Bagi rakyat yang berada di gugusan pulau-pulau terluar mungkin mengedepankan perbaikan infrastruktur dan keamanan wilayah. Sementara rakyat di pulau Jawa yang dengan infrastrukturnya relatif lebih baik, mungkin memilih seorang pemimpin negara yang dipandang lebih mengerti untuk urusan kompetisi di lapangan kerja.
Semuanya sah-sah saja. Akan tetapi, lebih baik lagi, apabila rakyat (termasuk saya!) diberi bekal rasa saling memahami problem-problem kewilayahan masing-masing, sehingga tidak terkesan dominasi suara suatu wilayah tertentu dan meng-kerdil-kan suara di wilayah lainnya. Suara rakyat ke-NKRI-an harus dikedepankan. Sayang, saya tidak melihatnya dalam pilpres kali ini. Yang terjadi, golongan tertentu seolah-olah hendak menerkam golongan lainnya. Dan parahnya, ini dipelihara oleh para elit politik maupun orang-per orang yang ‘merasa’ berkepentingan dengan keterpilihan calon presiden-wakil presidennya.
Tulisan ini tidak begitu runtut, akan tetapi ada pesan di dalamnya:
Berhenti saling hujat dan klaim kemenangan, siapapun yang mendahuluinya. Berpikirlah, bahwa hujatan-hujatan ‘Anda’ selaku salah satu rakyat Indonesia telah menyakiti hati salah satu atau bahkan jutaaan rakyat Indonesia lainnya yang tidak sepaham dengan ‘Anda’ tapi mereka memilih diam.
Beri kesempatan dan waktu dalam hari-hari ini, bagi pihak yang kemungkinan akan ‘kalah’ agar tetap mengakui dengan lapang dada kekalahannya, bahkan sebisanya malah akan turut merasa menang dan bahagia bersama ‘Anda’.
Salam.
http://sastrombudeg.blogspot.com
Rakyat harus diberi kesempatan dan waktu untuk berfikir dan membuang emosi sentimen ‘kekubuannya’ manakala telah muncul penentuan final hasil perhitungan itu. Terlebih, selisih suara kedua kubu hampir berimbang dan oleh karenanya agar bisa dibaca sebagai setengah rakyat memilih kubu A, dan setengahnya lagi memilih kubu B. Sehingga tidaklah santun dan terlalu arogan apabila klaim sepihak suatu kubu seolah-olah menjadi atas nama seluruh rakyat. Sebab, pastilah, pada kubu yang kalah akan tersimpan luka.
Oleh karena itu, merupakan tugas dari si kubu pemenang (kelak) harus pintar dan tulus (tidak terasa melecehkan) mengambil hati rakyat yang tidak dalam satu kubu dengannya. Masing-masing rakyat memiliki alasan kuat untuk memilih salah satu calon di antara kedua calon. Dan, biasanya pilihan yang diberikannya itu, lebih dekat dengan kebutuhan mendasar dalam kehidupan sehari-harinya. Parameter-parameter orang Jawa di luar pulau Jawa dengan orang Jawa yang berada di dalam pulau Jawa mungkin berbeda. Kebutuhan seorang pemimpin negara bagi orang-orang di pulau-pulau terluar mungkin saja berbeda dengan orang-orang di dalam pulau Jawa.
Bagi rakyat yang berada di gugusan pulau-pulau terluar mungkin mengedepankan perbaikan infrastruktur dan keamanan wilayah. Sementara rakyat di pulau Jawa yang dengan infrastrukturnya relatif lebih baik, mungkin memilih seorang pemimpin negara yang dipandang lebih mengerti untuk urusan kompetisi di lapangan kerja.
Semuanya sah-sah saja. Akan tetapi, lebih baik lagi, apabila rakyat (termasuk saya!) diberi bekal rasa saling memahami problem-problem kewilayahan masing-masing, sehingga tidak terkesan dominasi suara suatu wilayah tertentu dan meng-kerdil-kan suara di wilayah lainnya. Suara rakyat ke-NKRI-an harus dikedepankan. Sayang, saya tidak melihatnya dalam pilpres kali ini. Yang terjadi, golongan tertentu seolah-olah hendak menerkam golongan lainnya. Dan parahnya, ini dipelihara oleh para elit politik maupun orang-per orang yang ‘merasa’ berkepentingan dengan keterpilihan calon presiden-wakil presidennya.
Tulisan ini tidak begitu runtut, akan tetapi ada pesan di dalamnya:
Berhenti saling hujat dan klaim kemenangan, siapapun yang mendahuluinya. Berpikirlah, bahwa hujatan-hujatan ‘Anda’ selaku salah satu rakyat Indonesia telah menyakiti hati salah satu atau bahkan jutaaan rakyat Indonesia lainnya yang tidak sepaham dengan ‘Anda’ tapi mereka memilih diam.
Beri kesempatan dan waktu dalam hari-hari ini, bagi pihak yang kemungkinan akan ‘kalah’ agar tetap mengakui dengan lapang dada kekalahannya, bahkan sebisanya malah akan turut merasa menang dan bahagia bersama ‘Anda’.
Salam.