(usai upacara bendera tujuhbelasan di halaman depan balai kota)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
sebuah puisi
terinspirasi dari sebuah foto seorang veteran
yang tengah makan nasi bungkus di pinggir taman
seusai mengikuti upacara bendera tujuhbelasan
entah karya siapa foto itu , terima kasih
telah memberi bahan pemikiran
------------------------------------------------------------------------------------------------------
tibalah sesi ramah-tamah para pejabat dan tamu undangan.
seperti suasana pulang menang perang,
masing-masing berlaku anggun bak james bond.
berjas-dasi dan tawa-tiwi,
pin aneka medali bergelantungan tersemat di saku kanan-kiri,
termasuk mungkin didapat dari beli di senen-tak perduli,
ahai, memegang gelas berleher angsa saja seperti banci!
sementara itu, pak tua sang veteran sejati
tengah asyik menggelontor tenggorokannya dengan air mineral gelas plastikan,
duduk sendiri di emper parkir belakang mobil-mobil mereka ....
pak tua saksi pelaku sejarah palagan ambarawa,
pemegang hak pengena bintang gerilya yang juga telah hilang entah di mana,
kegerahan dengan seragam legiun kebanggaannya,
sepasang setelan hijau tua plus peci oranye itu hanya dikenakan dua kali dalam setahun (untuk upacara bendera hut ri dan hari pahlawan, dan biasanya ia turut tegak berdiri di barisan peserta, sementara para pejabat, perwira tentara dan polisi, tamu undangan, tak ketinggalan para pengusaha keturunan yang berjasa sebagai sponsor acara, tak ada sungkannya turut duduk di tribun utama).
tapi meski bangga dengan seragam legiun yang biasa tersimpan di kopor butut berdebu di kolong dipan reotnya,
jujur ia lebih nyaman dan merdeka berkaus oblong jamuran,
terasa semriwing melekat di kulit sepuhnya....
ia hadir di lapangan upacara karena undangan resmi dari panitia tujuhbelasan yang dibawa pesuruh kantor kelurahan kemarin lusa. ia bangga. jelas bangga mendapat undangan mengikuti upacara bendera tujuh belasan di balai kota. serasa jerih payah para pejuang dihargai oleh bangsanya. cukup segitu saja kiranya, tak usah berpikir tentang kesejahteraan di sisa hidupnya, apalagi remunerasi baginya (aku latah lagi).
selanjutnya, para pejabat dan tamu digiring ke ruang lainnya,
di meja telah tersaji aneka hidangan lezat yang jelas khas bukan makanan zaman perang, persantapan basa-basi pun dimulai, masing-masing bersikap kaku karena harus menjaga tabiat sepersis priyayi. memegang sendok saja seperti memegang tahi, jari jemari ‘cekithingan’. antara memegang dan hendak dilepaskan. penuh kehati-hatian menyuap nasi ke mulut yang terbuka hanya dua puluh lima persennya saja. gigi jangan coba-coba terlihat tamu lainnya. konon, itulah etika resepsi makan bersama yang biasa diajarkan di akademi calon perwira dan kursus-kursus calon pejabat negara.
di saat yang sama, di pembatas antara parkiran dan taman di bawah pohon palem bunting, duduklah sang veteran sejati sambil menyantap nasi bungkus dengan nikmatnya,seperti menemu kelangkaan menu yang tak pernah tersaji di meja pojok dapur bedeng kontrakannya. sendok bebek plastik itu meleot, sungguh susah menggiring butiran nasi dan sambal goreng hati ke dalam mulut keriputnya.
acara seremoni dan basa-basi bubarlah sudah,
mesin mobil-mesin mobil telah dinyalakan, ac dihidupkan, para sopir pribadi dan dinas tegak takzim di samping pintu mobil yang terbuka ....
belum ada separo nasi bungkus berpindah ke perutnya, sang ajudan pak wali mengusir dengan halus agar pak tua keluar dari area. harus steril katanya. apa boleh buat, ....
sang eks gerilyawan itu pun tahu diri dan kaya akan permakluman. kemerdekaan adalah laman mandiri yang harus diperjuangkan. kemerdekaan adalah kotak-kotak tabula yang berlainan rasa dan harga, termasuk penempatannya. kemerdekaan memang bukan hadiah dari penjajah, apalagi dari pak walikota yang dalam pilkada lalu ia juga turut mencontreng fotonya!
dalam terik itu, yang terbenak bukanlah kesakithatian, tapi bayangan situasi ketika ia harus tertatih-tatih menyingkir dari sebuah tebing di tepi jalan raya antara bedono dan ngampin. kaki kanannya tertembus pecahan mortir brigade musuh.
dengan sisa kegagahannya,
sang veteran perang itu terseok, patah-patah melangkah pulang ke bedeng kontrakan,
sepasang sol sepatu milik pelanggan
hari ini harus dituntaskan....
aku kesal bila teringat ini!
di mana konglomerat-konglomerat itu? pengeruk ekonomi negeri yang turut diperjuangkan Bapak ini bersama kawan seperjuangan beliau?
merekakah kini yang jadi kaki tangan cina menjadi distributor produknya? membuat/memasukkan barang-barang yang tidak bermutu, barang-barang palsu untuk dicekokkan ke rakyat republik ini? di manakah ayah dan kakek mereka saat masa perjuangan dulu?
o…, dari catatan sejarah, ternyata mereka sibuk berbisnis dengan penjajah serta turut mencekik rakyat pribumi yang tengah sekarat! ketika kita merdeka, mereka juga sibuk berbisnis dengan para penguasa negeri ini. Tak terlintas di kepala mereka untuk tulus bersahabat dengan para pribumi! mereka hanyalah kaum oportunis sejati, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu malu! mereka hanyalah orang-orang pengabdi uang! mereka itulah orang-orang yang menjadi akar korupsi negeri ini! tidak bisa dipercaya sampai kapan pun. tak ada INDONESIA RAYA di dada mereka!
indonesia, tanah air siapa ....
wahai pribumi bangkitlah. bangkitlah dengan jaringan-jaringan ekonomi kerakyatan kalian sendiri. bahu-membahulah untuk ekonomi kalian! tak ada keberpihakan dari lain pihak terhadap kalian. yang ada adalah kepentingan! kepentingan untuk memperlebar jaringan bisnis dan keturunan mereka sendiri! kepentingan memproyekkan dan melelang kalian dari para pemegang kebijakan!
aku kesal bila teringat dan melihat ini!
mungkin karena negeri ini bernama indonesia ….
http://sastrombudeg.blogspot.com